Bizzy Beradaptasi pada Perubahan Perilaku Konsumen, Luncurkan Tokosmart Agent
Tren pengadaan stok toko mulai beralih ke digital seiring dengan penerapan PSBB
Dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Bersakal Besar (PSBB), sejumlah startup mulai beradaptasi terhadap perubahan perilaku konsumen. Ada yang harus menutup layanan dan ada yang terpaksa mengembangkan fitur baru untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan konsumen.
Bizzy Group yang kini menaungi bisnis pengadaan, logistik (Bizzy Logistics), dan distribusi (Bizzy Distribution) turut terdampak dari situasi pandemi ini. Hal ini terutama pada bisnis distribusi yang dipatok menjadi penopang utama keseluruhan bisnis Bizzy.
CEO Bizzy Group Andrew Mawikere menyebutkan, kini toko-toko di luar daerah tak mau menerima pesanan stok dari salesman. Kondisi ini menjadi peluang baik bagi Tokosmart karena pemilik toko beralih ke aplikasi untuk memesan stok persediaan. Andrew mengungkap basket size Tokosmart mengalami kenaikan rerata dari Rp2 juta menjadi Rp3 juta dari situasi ini.
Sejak Januari 2019, Tokosmart meluncur untuk mendukung digitalisasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Aplikasi ini memudahkan dan meningkatkan efisiensi pemilik toko untuk melakukan pemesanan, penerimaan inventori, dan pembayaran. Terkini, Andrew menyebut Tokosmart telah menjaring 54.600 toko dan lebih dari 27.000 perusahaan distribusi di Indonesia.
"Situasi sekarang tidak memungkinkan bagi kami untuk bertemu prinsipal, ini mengganggu efektivitas diskusi business development kami. Tetapi, ini mendorong opportunity baru karena konsumen tetap perlu membeli kebutuhan," paparnya saat dihubungi DailySocial.
Untuk memudahkan efektivitas layanan Tokosmart, ujar Andrew, pihaknya mengembangkan aplikasi baru versi beta yang meluncur pekan lalu, yakni Tokosmart Agent. Layanannya mirip dengan Tokosmart, hanya saja pengguna dan harga jualnya berbeda.
Adapun, Tokosmart Agent membidik langsung segmen end-user dan community leader, seperti ketua RT atau RW di daerah setempat. Mereka dapat memesan persediaan dalam jumlah besar yang akan didistribusikan ke penghuni di tempat tinggalnya.
"Secara impact, [bisnis] platform kami minimal dengan perubahan behaviour ini, meskipun bisnis distribusi negatif. Artinya, bisnis distribusi yang terdampak offline, bergerak ke online. Omzet keseluruhan distribusi turun 20 persen, tapi overall GMV naik. Penurunan omset tertutupi peralihan ke [perusahaan distribusi] yang menggunakan platform kami," paparnya.
Komitmen Bizzy untuk masuk ke ranah logistik dan distribusi, serta menyasar UMKM, mulai terlihat dengan upaya penguatan ekosistem digital supply chain. Setelah Tokosmart, Bizzy yang kini menjadi holding juga meluncurkan aplikasi Truckway, Bizzy Field Force, dan Smart Warehouse.
Seluruh layanan ini dibangun untuk mengoptimalkan kinerja operasional pengguna dalam sebuah rantai pasokan, seperti distributor, toko grosir, pemilik, dan sopir truk.
Tak lagi bermain di e-procurement
Lebih lanjut, Andrew memberikan sinyal bahwa perusahaan tidak akan melanjutkan kembali bisnis marketplace B2B. Padahal, sebelumnya bisnis yang menyediakan e-procurement tersebut ditarget buka kembali di kuartal IV 2020.
Sebagaimana diketahui, Bizzy memutuskan menutup layanan marketplace B2B ini sejak Januari lalu. Saat itu, perusahaan menyebut penutupan tersebut hanya untuk sementara waktu.
"Sekarang kita sudah tidak di e-procurement lagi. Kami belum berencana lagi buka e-procurement, dan belum tahu kapan," ungkap Andrew.
Marketplace B2B merupakan bisnis pertama Bizzy yang dirintis sejak 2015. Kemudian sejak Januari 2019, Bizzy memperluas cakupan bisnisnya ke UMKM melalui peluncuran Tokosmart. Baik marketplace B2B dan Tokosmart memiliki procurement activity yang sama. Hanya saja segmen pasar dan nature dari procurement-nya berbeda.
Marketplace B2B diperuntukkan bagi segmen korporasi berskala besar yang mana produknya akan dikonsumsi sendiri. Sementara, Tokosmart melayani pembelian persediaan stok yang akan didistribusikan kembali ke toko-toko kelontong di pasar.
Menurut Andrew, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan perusahaan untuk berhenti dari marketplace B2B. Pertama, kegiatan procurement pada dasarnya terdiri dari rangkaian proses yang panjang. Dengan kata lain, ia melihat bahwa konsumen korporat berskala besar memiliki proses sell cycle yang panjang juga.
"Ada banyak stakeholder yang terlibat dalam decision making. Misalnya, sisi administrasi, perlu mengajukan PO sampai ke finance. Karena stakeholder banyak, proses sell cycle juga lama," tuturnya.
More Coverage:
Selain itu, ia juga menilai segmen korporat di Indonesia belum sepenuhnya beradaptasi ke digital karena infrastrukturnya tidak siap. Contoh paling sederhana adalah kegiatan administrasi yang ingin didigitalkan akhirnya tak tercapai karena masih banyak perusahaan yang menggunakan kertas.
Ini menjawab bahwa pelaku bisnis marketplace B2B dihadapkan pada tantangan yang sama. Awareness pasar terhadap layanan marketplace B2B masih rendah mengingat perusahaan yang belum menyadari pentingnya digitalisasi proses bisnis. Ini juga dapat berarti bahwa belum ada komitmen penuh dari para C-Level.
Di sisi lain, marketplace B2B dinilai menjanjikan karena model bisnisnya dinilai dapat menjamin pertumbuhan pendapatan dan keuntungan secara terukur dalam 1-2 tahun ke depan.
Tak hanya itu, bisnis marketplace B2B juga lebih efisien karena pelaku bisnis tidak perlu melakukan "bakar uang" untuk mengakuisisi satu pelanggan. Berbeda dengan segmen ritel, nature bisnis B2B tidak bergantung pada adu kuat diskon atau promo harga, tetapi pada rasionalitas kebutuhan.