Dampak Pembatalan "Pajak E-Commerce" Bagi Industri
Insentif supply chain, logistik, dan perpajakan dari Pemerintah menjadi hal krusial untuk mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi digital
Hari ini Menteri Keuangan Sri Mulyani resmi membatalkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210 Tahun 2018, lebih dikenal sebagai "Pajak E-Commerce", yang seharusnya resmi diberlakukan mulai 1 April 2019 mendatang. Menurut keterangan resmi yang disampaikan Kementerian Keuangan, ada kebutuhan koordinasi antar lembaga dan kementerian untuk memastikan pengaturan e-comemerce tetap sasaran, berkeadilan, efisien, dan mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi digital.
Dengan ditariknya PMK ini, merchant tidak lagi memiliki kewajiban melaporkan NPWP ke penyedia layanan marketplace, sementara pihak marketplace tidak perlu mengembangkan sistem untuk memungut, menyetor, melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan.
Yang tetap berlaku adalah kewajiban perpajakan untuk UKM, berupa pajak final 0,5%, bagi mereka yang memiliki omzet di bawah 4,8 miliar Rupiah per tahun.
Dampak bagi industri
Kehadiran Pajak E-Commerce sempat dianggap momok bagi para pelaku industri. Di saat usianya yang masih sangat balita, tambahan pajak yang diberlakukan di platform marketplace akan mengurangi tingkat kompetitif merchant di pasar yang sangat sensitif soal harga ini. Belum lagi kewajiban pelaporan NPWP yang dianggap merepotkan.
Di awal Januari, ketika peraturan tersebut disahkan, pihak asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) langsung mengajukan penangguhan. idEA, melalui Ketua Umumnya Ignatius Untung, beralasan saat ini jumlah merchant yang hadir di marketplace masih minoritas jika dibandingkan mereka yang berjualan bebas di media sosial. Jika yang minoritas ini diperberat dengan berbagai syarat dan perpajakan, ditakutkan industri yang baru dibangun ini malah "bubar jalan".
Sri Mulyani sendiri langsung merespon dengan menyebutkan peniadaan kewajiban pelaporan NPWP oleh merchant.
Batalnya pemberlakuan Pajak E-Commerce ini menjadi "kado" insentif bagi pemain industri yang sedang giat-giatnya menarik UKM untuk berjualan secara online. Di sisi lain, marketplace -- setidaknya saat ini -- tidak perlu berinvestasi untuk membangun sistem perpajakan.
idEA sendiri menyebutkan pihaknya tengah melakukan kajian mengenai dampak pungutan pajak terhadap penjual, marketplace, dan ekonomi negara. Studi ini bakal melibatkan lintas institusi dan Untung memprediksi dibutuhkan setidaknya sekitar satu tahun untuk memberikan rekomendasi bagaimana seharusnya penerapan perpajakan untuk e-commerce.
Contoh di Amerika Serikat
Di negara maju seperti Amerika Serikat, perpajakan e-commerce juga termasuk hal pelik. Acuan keputusan Mahkamah Agung tahun 1992 tentang peniadaan kewajiban pajak penjualan tanpa kehadiran operasional bisnis secara fisik (saat itu masih berupa katalog) mendorong pertumbuhan industri e-commerce yang sangat pesat, bak jamur di musim hujan.
Setelah 26 tahun, di tahun 2018, muncul keputusan Mahkamah Agung baru yang mulai mengatur soal pajak penjualan untuk layanan online. Di masa ini nilai e-commerce Amerika Serikat mencapai lebih dari $500 miliar.
Menurut data Google-Temasek, nilai e-commerce Indonesia tahun 2018 diperkirakan baru sekitar $12 miliar. Angka itu masih jauh dari ideal dan dibutuhkan insentif lebih banyak untuk mendorongnya mencapai batas psikologis $50 miliar di tahun 2025. Kehadiran wacana pajak tambahan di awal bisa membuyarkan target-target tersebut.
Penutup
Penarikan Pajak E-Commerce sangat diapresiasi untuk mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi digital. Menurut hemat kami, insentif supply chain, logistik, dan perpajakan dari Pemerintah menjadi hal krusial untuk mendorong pemerataan distribusi ketika e-commerce memudahkan konsumsi dari Sabang sampai Merauke.