DigiAsia Bios Segera IPO di Bursa Amerika Serikat Melalui SPAC
Target merger rampung di Q2 2023; sebelumnya tutup pendanaan $14,5 juta dari Reliance Capital Management
Startup fintechDigiAsia Bios segera melantai di bursa saham Amerika Serikat melalui mekanisme SPAC (special purpose acquisition company). Perusahaan telah menandatangani kesepakatan merger dengan perusahaan cangkang Stonebridge Acquisition Corporation. Ticker yang diperdagangan di pasar saham Nasdaq nantinya adalah ‘FAAS’.
Menurut keterangan resmi yang disampaikan perusahaan, perjanjian ini telah mendapat persetujuan dari jajaran direksi DigiAsia dan Stonebridge, ditargetkan akan selesai pada kuartal kedua tahun ini.
“DigiAsia telah hadir di Indonesia dan sedang mencari ekspansi segera ke Asia Tenggara, diikuti oleh Timur Tengah dan Afrika Utara. Peningkatan modal melalui IPO dan eksekusi selanjutnya akan membantu menjadikan Digi sebagai pemimpin yang jelas dalam dompet digital berlabel putih dan vertikal Banking-as-a-Service di kawasan ini,” ucap Co-CEO DigiAsia Alexander Rusli.
CEO Stonedridge Bhargav Marpally menambahkan, Stonebridge didirikan sebagai jembatan bagi perusahaan-perusahaan yang siap IPO di kawasan Asia Pasifik untuk mengakses pasar publik Amerika Serikat. Fokus DigiAsia di Indonesia dan kemampuannya untuk menskalakan bisnis dengan cepat, tim dengan rekam jejak yang terbukti, menjadikannya sangat cocok dengan Stonebridge.
Lebih lanjut, transaksi penggabungan kedua perusahaan ini membawa penilaian pra-ekuitas sebesar $500 juta (lebih dari 7,7 triliun Rupiah) dan pemegang saham DigiAsia, yakni Mastercard dan Reliance Capital Management (RCM) akan menggulirkan 100% dari ekuitas mereka menjadi perusahaan gabungan sebagai bagian dari transaksi. DigiAsia juga telah menjalin kemitraan dengan Bank DBS pada 31 Oktober 2022 untuk menyalurkan pinjaman melalui bisnis lending Digiasia, KreditPro.
Dengan asumsi tidak ada penebusan oleh pemegang saham publik Stonebridge, setelah kesepakatan ditutup, entitas operasi gabungan dapat memiliki akses ke kas bersih sebanyak $200 juta (setelah membayar biaya transaksi) dari rekening perwalian Stonebridge. Hasil akhir akan bergantung pada tingkat penebusan pemegang saham Stonebridge saat ini pada penyelesaian transaksi yang diusulkan.
Sebelum menandatangani perjanjian penggabungan, DigiAsia telah menutup investasi sebesar $14,5 juta (lebih dari 225 miliar Rupiah) dengan post-money valuation sebesar $450 juta yang dipimpin oleh Reliance Capital Management. Investasi tersebut akan memperkuat relasi bisnis kedua perusahaan di bidang asuransi, aset manajemen, yang dikuasai oleh RCM. Dengan kolaborasi tersebut, diharapkan DigiAsia dapat menjadi solusi keuangan tertanam B2B full-stack pertama di Indonesia.
Sebagai catatan, DigiAsia didirikan pada 2017 oleh Alexander Rusli dan Prashant Gokarn. Startup ini memosisikan diri sebagai fintech-as-a-service (FaaS) yang berambisi ingin mempercepat inklusi keuangan melalui lisensi dan kumpulan teknologinya dengan menyediakan solusi embedded finance untuk B2B2C dan B2B2M. Di antaranya mobile wallet, penerbitan kartu, pembayaran tagihan, cash management, pembayaran supply chain, pinjaman, dan lain-lain. Perusahaan memiliki sejumlah lisensi bisnis, yakni dompet dan pembayaran digital, Banking-as-a-Service, remitansi, dan layanan keuangan digital lainnya.
Co-CEO DigiAsia Prashant Gokarn menyampaikan visi DigiAsia adalah menjadi bagian aktif dari revolusi digital Indonesia yang memungkinkan layanan keuangan, mulai dari pinjaman, pembayaran, pengiriman uang, dan perbankan murah, untuk semua individu dan bisnis, terlepas dari ukuran atau status sosial ekonomi mereka.
“Kami juga sangat bangga dapat bekerja sama dengan Mastercard untuk mengembangkan penawaran kami yang sudah ada guna meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia,” kata Gokarn.
Langkah SPAC
Hingga berita ini diturunkan, DailySocial.id belum mendapat tambahan komentar dari Alexander Rusli mengenai alasan pihaknya memilih mekanisme SPAC untuk masuk ke pasar saham Amerika Serikat. Seperti diketahui, mekanisme ini sebelumnya juga tengah dipertimbangkan oleh sejumlah startup lokal, seperti Traveloka dan Kredivo, namun batal karena berbagai alasan strategis.
Kredivo misalnya, awalnya merencanakan untuk merger dengan perusahaan cangkang bernama VPC Impact Acquisition Holdings yang diumumkan pada Agustus 2021. VPC itu sendiri adalah mitra lama Kredivo yang pernah mengguyurkan dana hingga mencapai $200 juta.
Namun rencana tersebut kandas, dikutip dari keterbukaan informasi dari laman US Securities and Exchange Commission (SEC), yang diunggah pada 14 Maret 2022, gagalnya aksi korporasi ini merupakan dampak kondisi pasar yang bergejolak dan adanya beberapa masalah di luar kendali yang mengancam penundaan transaksi.
Salah satu aksi IPO via SPAC yang ramai di Indonesia adalah Grab dengan memanfaatkan perusahaan cangkang Altimeter Growth Corp. Diklaim kesepakatan tersebut terbesar di antara perusahaan akuisisi tujuan khusus.
More Coverage:
Sebelumnya SPAC sempat populer di Amerika Serikat karena menjadi cara tercepat untuk memperoleh dana publik. Menurut data yang dikutip dari South China Morning Post, pada 2021 mencapai 613 IPO melalui SPAC. Angka ini naik dari tahun sebelumnya sebanyak 248 IPO.
Akan tetapi regulator A.S SEC membuat perubahan peraturan yang dinilai menghambat aksi korporasi ini sejak akhir 2021. Salah satunya, SPAC memiliki waktu terbatas untuk menemukan perusahaan yang beroperasi untuk digabungkan (biasanya 24-36 bulan); jika SPAC gagal menyelesaikan merger dalam jangka waktu yang ditentukan, SPAC harus berhenti berdiri dan mengembalikan semua modal kepada pemegang sahamnya.
Aturan tersebut dibuat lantaran regulator khawatir mekanisme ini dimanfaatkan sebagai penyebar informasi yang menyesatkan, penipuan, dan konflik kepentingan dalam transaksi de-SPAC tertentu. Oleh karena itu, SEC mengusulkan aturan baru untuk menghilangkan asimetris informasi di antara investor, melindungi dari informasi yang menyesatkan dan penipuan dengan mengatur praktik pasar, dan mengurangi konflik kepentingan dengan lebih menyelaraskan insentif antara penjaga gerbang.
Hasilnya dilaporkan bahwa proses SPAC lebih lama dan lebih sulit dari sebelumnya, dengan tinjauan peraturan yang lebih ekstensif atas pernyataan proksi dan pendaftaran. Namun begitu, sejumlah kalangan masih tetap optimistis dengan potensi SPAC untuk jangka panjangnya. Mereka bilang, kebijakan baru ini berdampak bagi perusahaan dapat lebih jelas mengikuti pedoman yang telah ditetapkan.