FoodGasm Masuki Ceruk Layanan Reservasi dan Pemesanan Makanan Online
Bermitra dengan Veritrans untuk pembayaran, dengan Uber dan GrabExpress untuk pengantaran makanan
Sebuah startup mencoba melihat peluang baru di segmen makanan. FoodGasm mencoba menawarkan hal yang sedikit berbeda, sebagai aplikasi reservasi dengan kemampuan memesan dan membayar di depan. Selain itu, mereka juga mencoba memasuki bisnis pengantaran makanan, bermitra dengan Uber dan GrabExpress. Peluncuran resminya dilakukan berbarengan dengan perayaan Hari Valentine, hari Minggu lalu.
FoodGasm menyasar pasar niche, hanya untuk restoran kelas A+. Hal ini bisa dimengerti karena apa yang ditawarkan mungkin tidak sesuai untuk semua restoran. Selain kemudahan reservasi dan pembayaran, baik bagi restoran maupun konsumen, nantinya mereka akan memperluas model bisnis ke arah CRM dan analisis big data.
Contoh nyata penggunaan FoodGasm adalah ketika seseorang ingin mengorganisir kegiatan makan bersama dengan keluarga, rekan kerja, atau teman-teman. Untuk pilihan dan biaya makanan yang cukup banyak dan besar, biasanya restoran meminta jaminan uang muka yang biasanya ditransfer langsung ke rekening.
Dengan aplikasi dan sistem yang dihadirkan FoodGasm ini, seharusnya pemesanan dan pembayaran menjadi lebih mudah. Pembayaran bisa menggunakan kartu kredit dan transfer rekening bank. Berikutnya mereka bakal menambah partner pembayaran, yang bakal diumumkan beberapa bulan lagi, dengan sebuah bank, operator telekomunikasi, dan layanan OTT.
Untuk mewujudkan aplikasi ini, selain partner logistik, FoodGasm bekerja sama dengan Veritrans untuk urusan pembayaran dan DyCode untuk urusan teknis. Aplikasinya sudah tersedia untuk platform iOS dan Android. FoodGasm bisa jadi adalah startup lokal pertama yang memanfaatkan Uber sebagai mitra jasa pengantaran.
Berdasarkan perbincangan kami dengan Pendiri FoodGasm Marshall Jahja, saat ini FoodGasm sudah memiliki daftar klien restoran di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Pulau Bali. Tahun ini, mereka berhasrat untuk bisa ekspansi ke Filipina, karena sudah ada investor yang berminat untuk memasuki pasar negara tersebut. Di Indonesia sendiri, untuk operasional mereka dibantu dengan pendanaan dari angel investor.
Bergantung bagaimana eksekusi FoodGasm, yang didirikan Marshall dan Louis Tan, pasar yang ditujunya jelas ada. Tantangannya adalah meyakinkan restoran dan konsumen bahwa sistem yang dimilikinya bisa mengakomodasi semua kebutuhan, tanpa konsumen harus berurusan secara langsung dengan restoran. Ini perlu edukasi tersendiri karena sistem seperti ini benar-benar baru. Dengan Qraved misalnya, sistem reservasi yang ada, berdasarkan pengalaman pelanggan, tidak selalu berlangsung mulus dan masih memerlukan interaksi manual (dalam bentuk komunikasi telepon) dengan pihak restoran.
Satu hal yang pasti, menurut pandangan kami, sebaiknya FoodGasm tidak terlalu terburu-buru melakukan ekspansi ke berbagai pasar, termasuk ke luar negeri, sebelum menguasai, atau setidaknya mendapatkan pasar loyal, di sejumlah kota di Indonesia. Idealnya, sebuah startup mencoba menguasai satu demi satu pasar sebelum memperluas cakupan layanannya.