Kontroversi Iklan Digital Aplikasi Baca
Banyak menggunakan gambar tidak pantas di platform iklan Facebook dan Google
Aplikasi agregasi berita Baca, yang sejauh ini hanya tersedia untuk platform Android, mengklaim baru saja memperoleh pendanaan tahap lanjut senilai minimal $20 juta (sekitar Rp 262 miliar) dari grup investor Tiongkok (Bertelsmann Asia Investment, Crystal Stream Capital, dan CC Zhuang). Terlepas apakah Anda percaya Baca, yang memiliki setidaknya 1-5 juta pengunduh di Indonesia dan jumlah yang sama di Brazil (dengan nama aplikasi Central das Notícias), layak mendapatkan pendanaan sebesar itu, ada satu hal yang menjadi kontroversi operasional Baca. Cara mereka mempromosikan aplikasinya.
Kami mendapatkan informasi bahwa iklan Baca di platform Facebook dan Google menggunakan gambar dan tema yang tidak pantas. Cara mereka memasukkan sexual innuendo untuk menarik lebih banyak kunjungan dan pengguna membuat kami mengernyitkan dahi. Apakah serendah itu ide yang dimiliki dan layakkah konsumen Indonesia dijejali dengan iklan seperti ini?
Coba lihat gambar iklan Baca di Facebook tersebut. Tidak ada yang salah dengan kalimat statusnya, tetapi gambar yang disertakan jelas cenderung "menjurus". Kami tidak bisa menafikkan fakta bahwa foto-foto seperti ini banyak mengundang pengguna Facebook untuk mengklik, apalagi biasanya iklan yang tampil di timeline disesuaikan dengan preferensi tautan yang sering dibagikan atau teman yang dimiliki seseorang. Meskipun demikian, bukankah Baca punya banyak materi positif, dari 50 sumber media "terpercaya", yang bisa dipromosikan?
Hal ini cukup mengejutkan karena halaman Facebook Page Baca dan akun Twitter-nya lebih wajar dalam memberi status walaupun berita-berita yang dibahas kebanyakan tetap yang berbau kontroversial.
Apakah Baca menggunakan agensi digital tertentu dalam pembuatan iklan digital ini? Jika iya sekalipun, seharusnya keputusan final tentang materi iklan dan tanggung jawabnya tetap di tangan tim pemasaran Baca.
Untuk materi di iklan Google yang disebutkan "berbau pemerkosaan", saya tidak bisa berkata-kata lagi dan berharap tidak ada anak kecil yang menemukannya saat memainkan permainan mobile-nya.
Dalam sebuah penelitian oleh MediaAnalyzer Software & Research di tahun 2005 tentang iklan bertema seksual, ditemukan bahwa meskipun iklan bertema seksual menarik perhatian laki-laki, sementara perempuan cenderung menghindarinya, hanya sedikit orang yang benar-benar mengingat tentang iklan bertema itu.
Disebutkan hanya 9,8% responden laki-laki dan 10,8% perempuan yang mengingat iklan dengan tema seksual, dibandingkan 19,8% responden laki-laki dan 22,8% perempuan untuk iklan dengan tema non-seksual. Ternyata, meskipun menarik perhatian, iklan bertema seksual tidak memiliki dampak jangka panjang.
Kami berharap ada porsi pendanaan, yang seharusnya melimpah itu, yang bisa digunakan untuk penggunaan teknik pemasaran digital yang lebih sesuai. Tak semata memanfaatkan adagium "seks itu menjual". Startup dan masyarakat Indonesia layak untuk menikmati hal yang lebih baik.