Melihat Kesiapan Industri Memasuki Era Agritech 2.0
Diskusi panel bersama Anthony Tjajadi (Partner Trihill Capital), Aldi Adrian Hartanto (Managing Partner Ascent Venture Group), Liris Maduningtyas (Co-Founder & CEO JALA), Witny Tanod (Co-Founder, Chief Marketing & Corporate Affairs Gokomodo)
Butuh delapan tahun bagi eFishery untuk “buka jalan” betapa seksinya industri perikanan di Indonesia sampai akhirnya merengkuh status unicorn pada tahun lalu. Pemain sejenisnya, baik yang bergerak di akuakultur dan agrikultur, ikut kecipratan rezeki karena investor mulai menengok mereka.
Pasalnya, industri pertanian, perhutanan, dan perikanan merupakan penyumbang PDB terbesar ketiga setelah manufaktur dan perdagangan, dengan persentase sebesar 12,4% pada 2022. Walau besar, industri ini punya segudang masalah, mulai dari inkonsisten kualitas produk, akses modal, fluktuasi harga, dan rantai pasok.
Didukung oleh pendekatan teknologi yang diusung startup, sisi hulu dan hilir mulai teredukasi dengan konsep baru ini. Namun, sektor ini tak lepas dari tantangan lainnya, terutama penurunan permintaan pasca-pandemi. Bagaimana startup ini mempertajam strategi mereka dalam menghadapinya?. Bagaimana juga dari sisi investor mengamati evolusi startup di sektor ini?.
Pertanyaan ini dibahas melalui sesi “Are agritech & aquatech ripe for Version 2.0 to scale to next level?” dalam konferensi tahunan Indonesia PE-VC Summit 2024 yang diselenggarakan oleh DealStreetAsia.
Diskusi panel ini menghadirkan empat pembicara: Anthony Tjajadi (Partner Trihill Capital), Aldi Adrian Hartanto (Managing Partner Ascent Venture Group), Liris Maduningtyas (Co-Founder & CEO JALA), Witny Tanod (Co-Founder, Chief Marketing & Corporate Affairs Gokomodo).
Agritech & Aquatech 1.0
Witny menyampaikan pada periode 1.0 ini Gokomodo merasa bersyukur karena mereka telah menemukan product market fit yang tepat sebagai landasan penting sebelum berinovasi lebih jauh. Gokomodo fokus pada pengadaan dan pengiriman agri-input atau produk dan bahan baku pertanian, seperti pupuk yang dibutuhkan para pelaku agrikultur, sehingga mereka dapat menerima produk akhir dengan tepat waktu, kualitas tinggi dan harga wajar.
“Solusi kami sudah membuat rantai pasok jadi lebih efisien dan lebih mudah diakses oleh konsumen. Dari berbagai limitasi sebelumnya, kami jadi memahami bahwa versi 1.0 Gokomodo telah memberikan nilai tambah,” ucapnya.
Tidak jauh berbeda, Liris menyampaikan pihaknya menyelesaikan satu per satu masalah di budidaya udang yang saat ini jadi fokus utama perusahaan. Meluncurkan aplikasi yang bisa membantu petani udang adalah salah satu solusi yang ditawarkan JALA.
“Jadi tingkat adopsi teknologi ke dalam industri akuatik sudah ada, namun masih perlu penetrasi lebih jauh ke dalam diri para petani. Tujuannya agar mereka benar-benar dapat manfaatnya. Sebab, teknologi itu selalu dapat mengatasi beberapa masalah, meminimalkan risiko, meminimalkan biaya rantai pasokan, dan lain-lain,” kata dia.
Dorong disrupsi lebih jauh
Baik Aldi dan Anthony sepakat bahwa aspek sains yang menjadi ‘beauty’ harus lebih digalakkan untuk keberlanjutan industri ini. Anthony mengaku dirinya sudah menggeluti industri agrikultur sejak 30 tahun lalu, namun hingga detik ini masih minim disrupsi di sisi hulunya.
“Jadi perbaiki pasokannya, perbaiki sumbernya. Mungkin kembali ke lab dan mendeteksi, menemukan pupuk baru, benih baru, pestisida baru, atau apa pun. Saya ingin lebih banyak disrupsi dan teknologi, serta lebih banyak orang yang terlibat di sisi hulu bisnis,” ujar Anthony.
Aldi juga mengingatkan, menerapkan lebih banyak teknologi di sisi hulu, banyak memberikan pengaruh pada efisiensi di keseluruhan rantai pasok. Saat itu, startup perlu memikirkan bagaimana bisa meningkatkan profitabilitasnya, misalnya dengan membuat merek baru khusus untuk produk ayam potong karena punya margin yang lebih tinggi.
“Namun sebelumnya harus mengatasi masalah pasokan. Kami prediksi model farming-as-a-service jadi tren yang kami perkirakan akan terjadi,” kata dia.
Tantangan menuju 2.0
Liris menyoroti tantangan talenta yang dibutuhkan untuk buat inovasi sains di sektor akuakultur masih sulit dicari. Lulusan pertanian masih lebih tertarik bekerja di bank atau jadi pegawai negeri sipil, ketimbang menyalurkan ilmunya di bidang yang sesuai. Di samping itu, perjalanan untuk penetrasi ke para petani agar naik level dari dasar ke lanjutan tetap dibutuhkan.
Agar perusahaan tetap efisien, JALA memanfaatkan keberadaan big data yang sumbernya diperoleh dari cara yang murah dan efisien, yakni melalui aplikasi yang diunduh para petani.
More Coverage:
“Dengan big data, kami bisa mengumpulkan data historis dan data terkini dari petani, mengambil sampelnya untuk membuat prediksi dan proyeksi biomassa mereka tanpa perangkat keras. Jadi itu solusi termurah menurut saya. Langkah pertama bagi petani di aquatech untuk membiasakan diri dengan teknologi.”
Witny menambahkan, bermitra dengan ekosistem dibutuhkan untuk masuk ke tahap berikutnya 2.0, baik dengan pemerintah, akademisi, petani, investor, dan startup.
“Kami punya banyak program yang mendapat dorongan dari pemerintah sendiri untuk dorong petani milenial. Kami juga berdiskusi dengan pemerintah itu sendiri, saat membuat produk baru. Kami perlu menjadi lebih baik lagi. Jadi kami tidak bisa berdiri sendiri, tapi semuanya harus saling dukung,” pungkasnya.