1. Startup

Menciptakan Layanan Fashion yang Lebih Personal dengan Kecerdasan Buatan

Belajar dari Founder dan CEO Yuna & Co Winzendy Tedja di sesi #SelasaStartup

Pada dasarnya, manusia ingin selalu tampil keren. Memang terdengar mudah, tetapi bagi sebagian orang keinginan untuk tampil bagus menjadi sebuah beban tersendiri.

Contoh paling sederhana adalah memikirkan apa yang akan kita pakai setiap hari. Hal ini umumnya cukup sering dialami di kalangan perempuan.

Personal stylist bisa saja menjadi jawaban, akan tetapi kita tahu bahwa personal stylist bukan menjadi sebuah layanan terjangkau bagi segmen pasar menengah hingga ke bawah.

Lalu opsi yang dapat kita tawarkan? Teknologi. Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan sebuah layanan fashion yang lebih personal.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, Founder dan CEO Yuna & Co Winzendy Tedja berbagi pengalaman tentang pemanfaatan AI dalam menghadirkan aplikasi fashion matchmaking berbasis preferensi pengguna.

Scale up dengan teknologi AI

Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang fashion, pria yang karib disapa Zendy ini mengungkap tentang pentingnya mempelajari gaya dan preferensi pengguna untuk bisa scale up.

Menurutnya platform perlu untuk mempelajari bagaimana kebiasaan dan preferensi pengguna agar seluruh informasi tersebut dapat diolah menjadi sebuah rekomendasi kepada mereka saat berbelanja.

"Sekarang adalah era di mana pengguna ingin memiliki pengalaman yang lebih personal. Lalu, bagaimana mau scale up dengan personalisasi? Personalisasi itu kan harus one-to-one. Nah, di sini AI berperan sebagai tool," ungkap Zendy.

Diakuinya, pengguna harus mengeluarkan effort dalam memberikan informasi seputar gaya dan preferensi fashion yang disukai. Namun, begitu pengguna telah mengalami pengalaman yang personal, mereka akan terus lanjut.

Kumpulan data untuk ciptakan analisis prediktif

"The thing about fashion, brands want to own their data. Berbeda dengan industri musik atau film. Kita tidak akan tahu produk apa yang paling laris di H&M, misalnya," kata Zendy.

Dalam hal ini, AI dapat mengambil peran lebih dalam mengolah kumpulan data (dataset) menjadi sebuah analisis yang prediktif. Di perusahaannya, data prediksi ini juga yang ia tawarkan kepada brand-brand yang menjadi mitranya.

"Semakin banyak pelanggan dan produk yang masuk ke dalam learning system kita, akan semakin banyak pula insight yang kita dapat. Kita bisa kasih rekomendasi ke brand, misal dari sisi bahan atau warna yang disukai pengguna," ujar Zendy.

Manusia tetap punya peran

Meski teknologi ada untuk mempermudah proses kerja, bukan berarti manusia tak lagi dibutuhkan. Apalagi preferensi dan tren fashion seseorang kerap berubah-ubah.

Hal juga dapat menjadi tantangan dalam menghasilkan rekomendasi yang berguna bagi pelanggan. Akan tetapi, Zendy menyebutkan bahwa kecerdasan buatan akan terus berjalan dalam mengumpulkan dan mengolah jutaan data.

Di sisi lain, stylist juga akan tetap dibutuhkan dalam mengkurasi berbagai macam informasi. Menurutnya, tidak semua hal dapat terbantu dengan teknologi. Justru, teknologi berperan sebagai enabler.

"Ada hal-hal di mana kita perlu manusia untuk memutuskannya, dan tidak bisa mengandalkan kecerdasan buatan. When it comes to taste, we still needs human." tutur Zendy.