1. Startup

[Music Monday] Mengapa Toko Unduhan Musik Tidak Akan Berhasil di Indonesia

Makin saya pikirkan, semakin yakin bahwa layanan musik - setidaknya di Indonesia - berjalan ke arah yang salah. Sejak 2008, Indonesia telah memiliki beberapa toko unduhan musik online. Berbagai model bisnis telah dijalankan - ISP mencoba pembayaran ISP, operator telekomunikasi mencoba dengan membayar via SMS, dan beberapa layanan lain bahkan menyediakan pilihan sistem pembayaran; baik lewat SMS atau voucher elektronik.

Investasi (yang cukup mahal) di-hosting dan sistem pengiriman konten dilakukan dalam usaha untuk meniru apa yang sepertinya berjalan di luar negeri - unduhan musik. Pada dasarnya, pengguna akan membayar untuk sebuah lagu yang mereka inginkan, dan hanya untuk lagu yang mereka mau saja, dan mengunduhnya ke perangkat mereka. Kebanyakan layanan membutuhkan implementasi DRM untuk menghindari proses penyalinan yang tidak sah, dan file itu sendiri biasanya terkunci hanya pada perangkat yang mengunduh file tersebut.

Tentunya, ini tidak berhasil. Pastinya praktik ini tidak pernah memberikan hasil yang diinginkan oleh industri musik.

Berhubung layanan iTunes tidak tersedia di pasar Indonesia, banyak pemain yang mencoba untuk menawarkan layanan unduhan musik. Banyak dari layanan toko unduhan musik ini mencoba untuk meniru iTunes dengan beberapa pendekatan - sebagian besar menduplikasi desain antar muka, beberapa lainnya mencoba untuk membuat ekosistem dari perangkat keras + perangkat lunak yang menjadi unggulan iTunes. Tidak ada dari berbagai toko unduhan musik ini yang merupakan pabrikan perangkat keras, jadi mereka harus berusaha sangat keras untuk membuat pengalaman pengguna semulus mungkin, dan membuat pengguna perangkat bergerak yang jumlahnya sudah sangat besar untuk terbiasa dengan unduhan musik.

Berbagai usaha pemasaran dan promosi diluncurkan, dan kerja sama dilakukan dengan label musik untuk menawarkan koleksi lagu yang banyak. Negosiasi bisnis memakan waktu berbulan-bulan karena kedua belah pihak menginginkan proporsi yang seimbang antara menariknya layanan bagi konsumen, serta kesepakatan yang menguntungkan bagi label musik (yang mewakili para musisi dan para artis) untuk menjamin agar mereka mendapatkan uang yang bisa digunakan berinvestasi kembali dalam membuat musik lainnya. Sistemnya itu sendiri membutuhkan usaha yang keras untuk membangunnya, belum lagi usaha promosi yang harus dijalankan untuk mengenalkan layanan tersebut. Memang harus dicoba, dan melihat apakah orang mau menerima layanan unduhan musik.

Ya, tentu saja usaha ini tidak berhasil - salah satu dari 5 hal yang dilakukan orang Indonesia di internet adalah mencari musik (lagu-ed). Dan apakah mereka mencarinya di toko unduhan musik? Tidak, mereka mencarinya di 4shared, Mediafire, dan beberapa layanan berbagi file sejenis lainnya. Mengapa? Karena lebih mudah. Dan 'perilaku' ini telah berlangsung sejak era Napster, jauh sebelum teknologi untuk membangun sebuah toko unduhan musik online tersedia.

Dunia digital bagaimanapun menjadi pedang bermata dua bagi industri musik - di satu sisi, sifat digital mampu memberikan peningkatan skala yang nyaris tak terbatas dalam hal penjualan konten; di sisi lain, konten yang sama dengan mudah diduplikasi - dan skema perlindungan untuk pengkopian bisa dipecahkan - dan distribusikan tanpa kontrol dari pemilik konten. Belum lagi fakta bahwa banyak orang tidak peduli dengan masalah hukum hak cipta dan hukum anti pembajakan - mereka hanya menginginkan musik. Dengan demikian, asumsi bahwa orang mau membayar untuk file MP3 berkualitas rendah - atau bahkan file MP3 berkualitas tinggi - harus dilihat dengan lebih seksama. Sebenarnya tanda-tandanya sudah jelas - tapi tentu saja, menjadi bagian dari industri di era itu, kita harus mencoba. Melihat ke belakang, mungkin bukan investasi yang layak. Anehnya, beberapa toko unduhan musik masih menjalankan praktik penjualan seperti ini sampai sekarang.

Bahkan ada satu toko yang menggunakan kalimat promosi seperti ini "download lagu legal berkualitas" di iklan billboard mereka (yang juga sebuah kesalahan). Mengapa kalimat tersebut salah: rata-rata konsumen musik tidak peduli apakah legal atau tidak, dan banyak dari mereka juga tidak peduli dengan kualitas. Dan jika Anda menjual sesuatu secara online, mengapa Anda mengiklankannya di billboard? Kenapa tidak berpromosi online?

Saya tidak akan berpura-pura tahu apa yang akan menjadi 'hal besar selanjutnya' untuk industri musik Indonesia - sesuatu yang menjadi harapan bagi industri untuk menggantikan bisnis RBT yang naas, seperti bisnis CD sebelumnya - namun yang pasti bukan unduhan musik yang dijalankan dalam bentuk yang sekarang. Bisa jadi hanya satu layanan yang berhasil dari banyak layanan. Musik yang dipaketkan dengan benda lain, dan layanan berlangganan memperlihatkan tanda-tanda sukses, tetapi seperti yang telah saya sebutkan berkali-kali, kuncinya mungkin ada pada 'banyak hal kecil' bukan pada hanya satu 'hal besar'. Dan kreativitas 'generasi startup' tinggal menunggu diajak.

Jadi, orang mau mendengarkan musik. Sudah pasti itu. Sebelum internet, kita punya pilihan terbatas sumber musik - TV, radio, atau membeli album. Sekarang, internet memberikan pilihan nyaris tak terbatas. Mengapa tidak membuat pilihan yang tidak terbatas untuk mengakses musik juga? Pasti ada cara untuk memikirkan ulang bagaimana caranya menjual CD musik atau file musik. Dan mungkin ada banyak cara lain untuk menghasilkan uang dari musik, yang tidak bergantung pada kontrol atas salinan file atau gerakan anti-pembajakan.

Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, ia kini bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.