Optimisme Sigfox Bermain di Ranah IoT Berbasis Non Seluler
Adopsi ekosistem terbuka untuk menggairahkan maker IoT lokal
Perusahaan penyedia layanan IoT global Sigfox segera meluncurkan layanan komersial di Indonesia pada 20 Februari 2020, setelah memproses lisensi resmi dari Komenkominfo bulan lalu. Perusahaan mengedepankan konsep kolaborasi dengan profesional IT untuk mengembangkan perangkat dan aplikasi lokal, agar implementasi IoT bisa lebih masif di segala sektor industri.
CEO Sigfox Indonesia Johnny Swandi Sjam menjelaskan, kolaborasi adalah solusi yang ingin diberikan perusahaan buat meningkatkan kualitas SDM lokal agar dapat bersaing dengan global. Pasalnya, ketika suatu produk berhasil diciptakan, ada peluang yang bisa dibawa melalui Sigfox untuk didistribusikan ke pasar global.
“Mitra IT ini bisa siapa saja, asalkan mereka bisa buat sensor dan aplikasi lokal. Perguruan tinggi punya peluang yang besar di sini. Itu yang akan kita genjot,” terang Johnny, Selasa (18/2).
Sikap terang-terangan Sigfox untuk menggaet mitra sebenarnya cukup diapresiasi untuk menggairahkan para maker IoT lokal, yang termasuk dalam ekositem pendukung IoT.
Sebelum resmi komersil, Sigfox sudah mulai menunjukkan diri ke publik sejak Mei 2019. Johnny menyebut selama kurun waktu tersebut, perusahaan banyak berbenah mempersiapkan bisnis dan menunggu regulasi diterbitkan Kemenkominfo sebelum mengajukan perizinan.
Dia menjelaskan model bisnis Sigfox adalah b2b2c. Perusahaan hanya menyediakan jaringan IoT berfrekuensi pada rentang 920 MHz-923 MHz dengan teknologi netral. Slot frekuensi ini memang disediakan oleh pemerintah buat para maker IoT non-operator atau unlicensed.
Mereka tidak akan dikenakan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi, namun harus tetap membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi dan kewajiban pelayanan universal (USO) yang ditentukan berdasarkan model bisnis masing-masing.
Berkat frekuensi tersebut, Sigfox menawarkan solusi IoT low power wide area (LPWA) atau listrik berdaya rendah. Ekosistem IoT terdiri dari empat bagian, yakni aplikasi (A), back end (B), connectivity (C), dan device (D). Perusahaan berada di posisi C.
Solusi yang ditawarkan berbeda dengan perangkat IoT kebanyakan. Data transfer jauh lebih kecil dan kecepatan yang rendah. Alhasil baterai jauh lebih awet dan tahan hingga tiga tahun untuk radius sensor antara 8 km-10 km.
Melalui mitra teknologi yang digaet, kedua belah pihak akan meriset kebutuhan IoT berdasarkan industri dan menyesuaikan dengan kumpulan paten yang sudah dikantongi Sigfox. Mitra tersebutlah yang akan melakukan proses manufakturnya. Sigfox akan membantu distribusi penjualan.
“Sebelum produk dikomersialkan, Sigfox akan memeriksanya untuk distandarisasi demi memastikan dia berjalan di frekuensi yang tidak mengganggu jaringan lain.”
Rencana bisnis Sigfox
Sebagai langkah awal, perusahaan menawarkan dua perangkat sensor yaitu Personal Tracker untuk melacak kendaraan, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan industri, dan Wallet Tracker yang dapat digunakan sebagai tanda pengenal karyawan dan dapat dipantau melalui aplikasi.
Kedua produk di atas dapat disesuaikan kembali sesuai dengan kebutuhan target pengguna. Pengembangan Wallet Tracker, bersama mitra IT yang digaet Sigfox, berhasil membuat produk tracker untuk jamaah umroh dan disebutkan telah didistribusikan ke publik.
Pada tahap awal ini, jaringan IoT 0G Sigfox tersedia di area Jakarta dan sekitarnya dan Bandung. Kota lainnya akan menyusul seperti Medan, Pekalongan, Surabaya, Denpasar, Balikpapan, dan Belitung. Lokasi-lokasi tersebut, menurut Johnny, berpotensi untuk dikembangkan karena ada pasar di sana.
Adapun sektor-sektor industri yang dibidik Sigfox, adalah properti, pertanian, perikanan, dan lainnya. “Sejauh ini belum ada [mitra properti], tapi di properti itu IoT bisa punya banyak implementasi. Misalnya untuk sensor metering, sensor gerak, potensinya ada banyak.”
Ke depannya, apabila pengembangan sensor yang semakin masif ada kemungkinan untuk di bawa ke luar negeri di mana Sigfox beroperasi. Perusahaan memiliki jaringan yang terbesar di lebih dari 70 negara di sedunia.
Tidak hanya bermain di ranah b2b2c, Johnny menyebut Sigfox juga akan menjual produk sensornya secara b2c langsung ke konsumen. Produk yang dijual seperti sensor untuk hewan peliharaan dan sensor tracking untuk memantau kendaraan.
Dari seluruh target perusahaan, Johnny menargetkan dalam setahun ke depan perusahaan dapat menjual 1 juta sensor.
Diklaim ada sekitar 40 calon mitra teknologi yang masuk mendaftar di Sigfox, akan tetapi menurut Johnny tidak semua akan diajak menjadi mitra. Satu mitra yang telah resmi adalah Institut Teknologi Bandung (ITB).