TipTech #1: Bagaimana Pengembang Bukalapak Mengelola Fitur Baru di Tengah Siklus Produk yang Kencang
Berdiskusi dengan VP of Engineering Ibrahim Arief dan VP of Product Design Yoel Sumitro
TipTech adalah rubrik baru DailySocial yang membahas berbagai kiat dalam pengembangan produk atau aplikasi startup. Pada bagian pertama ini, kami berkesempatan untuk berdiskusi dengan VP of Engineering Bukalapak Ibrahim Arief dan VP of Product Design Bukalapak Yoel Sumitro.
Di tengah persaingan bisnis online marketplace yang sangat ketat, banyak hal yang harus dilakukan Bukalapak untuk membuat para pembeli betah. Salah satu yang dilakukan dengan menggulirkan inovasi produk secara terus-menerus di aplikasi. Kami sendiri mengamati beberapa pembaruan yang diluncurkan, misalnya setelah fitur Serbu Seru kini mereka menggulirkan #MauDitinju dan #Maudikode sebagai mekanisme distribusi voucer dan pengundian diskon.
Sebagai komplementer, fitur tersebut harus mendapatkan porsi dan penempatan yang sesuai agar tidak mengganggu model bisnis utamanya. Pendekatan ini yang akan kami diskusikan, tentang bagaimana tim pengembang dan produk memaksimalkan fitur aplikasi untuk meningkatkan traksi pengguna.
Manfaatkan framework yang tepat
User Interface (UI) dan User Experience (UX) menjadi bagian penting ketika merumuskan sebuah produk baru. Secara sederhana, UI didefinisikan sebagai representasi dari produk yang akan diakses oleh pengguna; sementara UX menjadi alur desainnya, mengakomodasi cara-cara konsumen dalam mengakses produk tersebut.
“Ada berbagai macam jalan yang bisa diambil ketika merumuskan rancangan UX untuk fitur yang baru. Salah satu yang kita pernah pakai adalah framework buatan Nir Eyal. Di dalamnya dia melempar sebuah ide bahwa fitur yang bisa membuat kebiasaan baru untuk pengguna harus mempunyai empat siklus: trigger, action, variable reward, dan investment,” terang Yoel.
Nir Eyal dalam bukunya “Hooked: How to Build Habit-Forming Products” menjelaskan bagaimana produk dikonversi menjadi kebiasaan. Maksudnya, konsumen dikondisikan memiliki dorongan emosional untuk menggunakan tanpa harus berpikir panjang. Contohnya keberhasilan Instagram, membuat orang akan kembali dari waktu ke waktu tanpa pikiran sadar untuk melihat foto baru dan scrolltimeline.
Trigger atau pemicu, yakni faktor yang dijadikan alasan bagi pengguna untuk mengakses dan menggunakan produk tersebut. Pemicu ini dibagi menjadi dua aspek, eksternal dan internal. Pemicu eksternal ini yang ditugaskan untuk mendorong orang masuk ke dalam produk yang diluncurkan, bentuknya bermacam-macam, misalnya yang dilakukan di Bukalapak dengan mengirimkan notifikasi yang cukup persuasif kepada pengguna.
Kemudian pemicu internal – ini adalah faktor yang paling sulit terkait penciptaan pengalaman pengguna, membutuhkan pemikiran kritis dari desainer produk. Menurut Neil, dikatakan sukses jika mampu menghasilkan emosi negatif yang persisten; kemudian memberikan kelegaan singkat dari emosi itu, lalu menciptakan kecanduan.
Contohnya fitur Serbu Seru di Bukalapak, dengan harga produk yang relatif sangat kecil, pengguna dapat menyerbu produk-produk pilihan. Kemudian sistem akan melakukan pengundian secara acak di tiap produk, hingga terpilih satu penyerbu yang beruntung. Bagi yang kurang beruntung, nominal yang diberikan akan dikembalikan, baik berupa saldo ataupun pembelian item lain. Harga yang sangat murah, keberuntungan, dan varian produk yang menarik memanfaatkan faktor emosional tersebut.
“Di dalam fitur baru Maudikode yang baru kita luncurkan, empat elemen di atas bisa cukup terasa, terutama external trigger yang kuat,” lanjut Yoel.
Untuk pembahasan framework ini secara lengkap, buku Neil tadi dapat dijadikan rujukan.
Pengujian dan kolaborasi
Agar bisa diterima dan memberikan dampak yang diharapkan, pengujian juga penting untuk dilakukan. Ibrahim menjelaskan, di Bukalapak mereka menggunakan A/B Testing.
"A/B Testing, sangat penting untuk memastikan pengembangan UI/UX aplikasi memberikan dampak positif yang bisa terkuantifikasi bagi pengguna dan bagi conversion funnel kita. Layanan dan pustaka A/B Testing yang bisa digunakan dan diintegrasikan dengan aplikasi kita cukup banyak, mulai yang gratis hingga berbayar," terang Ibrahim.
Kolaborasi dan manajemen tim juga menjadi bagian krusial untuk meningkatkan kualitas UI/UX di Bukalapak.
"Untuk perangkat pendukung kolaborasi dalam membuat desain, dulunya kami memakai gabungan Sketch, Abstract, dan Realtimeboard. Tapi setelah melakukan beberapa eksperimen, kami menemukan bahwa Figma bisa menggantikan tiga alat tersebut, bahkan bisa menunjang kolaborasi yang lebih bagus dengan tim-tim di luar desain," lanjutnya.
Personalisasi untuk pengguna
Peningkatan traksi juga dipengaruhi oleh kenyamanan pengguna dalam mengakses aplikasi. Misalnya terkait keandalan aplikasi, ketika diakses tetap kencang meskipun banyak fitur yang dibubuhkan. Agar aplikasi tetap kencang, Ibrahim menyiasatinya dengan memisahkan pola penggunaan aplikasi, antara yang read-heavy dengan yang write-heavy.
"Biasanya aplikasi yang berhadapan dengan pelanggan cenderung pada skenario penggunaan read-heavy. Dalam kasus tersebut, pertimbangkan juga penggunaan cache yang efisien. Diskusikan juga bersama tim bisnis, untuk produk apakah ada jangka waktu tertentu yang masih acceptable untuk menyajikan stale data ke pelanggan," jelasnya.
Misalnya, untuk aplikasi yang menampilkan data cuaca, mungkin data yang stale selama maksimal 20 menit masih bisa diterima dan bisa di-cache untuk jangka waktu yang lama.
Selain itu saat ini Bukalapak menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk membangun model personalisasi dari jutaan pelanggannya. Model ini bisa digabungkan dengan AI yang digunakan untuk rekomendasi agar bisa membantu pengguna dalam memudahkan pengalaman berbelanja.
"Untuk membangun model seperti ini, kami mengumpulkan miliaran data terkait perilaku setiap pelanggan di Bukalapak, dan menggunakan data tersebut untuk melatih berbagai jenis model dengan menggunakan teknik-teknik pembelajaran mesin seperti bayesian model, neural network, atau logistical regression," jelas Ibrahim.