Perubahan Persepsi Perusahaan Teknologi Terhadap Bursa Efek Indonesia
Analis percaya bahwa saham teknologi seperti Bukalapak akan memikat investor ritel muda dan menginspirasi perusahaan internet lainnya untuk memasuki pasar modal lokal.
Bursa Efek Indonesia atau BEI akan memasuki masa sibuk. Setelah berbulan-bulan masa spekulasi, perusahaan e-commerce Bukalapak siap untuk menandai debutnya pada 6 Agustus, menjadi unicorn Indonesia pertama yang terdaftar di BEI. Kemungkinan besar, raksasa teknologi lokal lainnya seperti GoTo dan Traveloka akan menyusul.
Investor menyambut baik langkah Bukalapak. Perusahaan e-commerce ini berhasil mengumpulkan USD 1,5 miliar setelah menetapkan harga sahamnya di atas kisaran Rp 750-850, penerbitan terbesar sejauh ini di Indonesia, menurut sumber yang dikonsultasikan oleh Reuters.
Pembeli saham IPO Bukalapak meliputi investor institusi jangka panjang, pengelola dana kekayaan negara, dan investor ritel.
Meningkatkan kepercayaan diri untuk melantai di BEI
Karena perusahaan teknologi lain seperti GoTo Group, Traveloka, Tiket, dan Kredivo dilaporkan berencana untuk segera go public dengan skema dual listing di AS dan Indonesia, BEI saat ini sedang mempersiapkan peraturan baru untuk mengakomodasi sektor teknologi. Misalnya, bursa dan otoritas keuangan Indonesia, OJK, sedang mengkaji aturan baru terkait hak suara berganda (MVR), yang dimaksudkan untuk memberi pemegang saham yang ada kontrol lebih besar atas perusahaan.
Rancangan peraturan menetapkan bahwa total aset bagi perusahaan untuk menerapkan MVR harus minimal Rp 2 triliun (USD 138 juta), sedangkan bisnis harus telah beroperasi setidaknya selama tiga tahun. Pemegang saham dengan MVR, baik secara individu maupun kolektif, hanya dapat memiliki hingga 47,3% dari seluruh saham. Menurut aturan baru, jika mereka memiliki lebih dari itu, kelebihan MVR akan dianggap sebagai saham biasa.
“Alasan penerapan MVR adalah untuk memberikan kontrol yang lebih besar kepada para pendiri—yang merupakan orang-orang yang memegang peran kunci di perusahaan—untuk mempertahankan dan mewujudkan visi dan misi jangka panjang perusahaan setelah go public,” sebut I Gede Nyoman Yetna Setya, direktur penilaian perusahaan BEI, melalui pesan yang dikirim ke wartawan lokal melalui WhatsApp.
Regulasi baru tersebut masih menjadi pembahasan oleh OJK dan lembaga swaregulasi seperti BEI, PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Kliring Penjaminan Efek Indonesia, dan pemangku kepentingan lainnya di pasar modal.
Vishal Sridhar, seorang analis Asia Tenggara di The Economist Intelligence Unit di India, percaya bahwa jajaran baru perusahaan teknologi besar yang diperdagangkan di BEI akan memberikan dorongan signifikan terhadap kapitalisasi pasar bursa. Hal ini juga akan menarik investor ritel muda dan menginspirasi perusahaan internet lain di kawasan ini untuk memasuki pasar IPO lokal, ujarnya.
“Koalisi uang tunai yang melimpah serta munculnya investor ritel baru di area suku bunga rendah makin meningkatkan volume perdagangan dan memicu serangkaian penawaran umum perdana yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2020. Kita akan melihat banyak startup dari Asia Tenggara memasuki pasar perdana di tahun 2021–2022 saat ekosistem telah matang. Investor mencari exit sementara gelombang perusahaan teknologi berikutnya mulai muncul,” pungkas Vishal kepada KrASIA.
Sementara kawasan Asia, secara umum, telah menjadi target akuisisi utama bagi banyak perusahaan SPAC, makin banyak reformasi pasar modal diperlukan bagi bursa regional untuk memikat perusahaan teknologi untuk go public di dalam negeri, kata para analis. “Bursa seperti BEI harus mengambil langkah keluar dari buku panduan Hong Kong dan menghasilkan reformasi ramah pasar independen yang terkait dengan berbagai kelas saham dan kerangka kerja khusus untuk perusahaan inovatif, dengan ambang batas keuntungan dan pendapatan yang rendah,” kata Sridhar.
Sejalan dengan optimisme Sridhar, Suresh Dalai, direktur senior manajemen operasi di perusahaan konsultan bisnis global Alvarez & Marsal, mengatakan bahwa saham teknologi baru akan membantu secara signifikan meningkatkan persepsi BEI sebagai bursa tujuan untuk IPO. Namun, yang lebih penting lagi, ini merupakan peningkatan kepercayaan yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
“Bukalapak direncanakan menjadi IPO terbesar dalam sejarah untuk BEI, yang akan meningkatkan merek bursa. Jumlah dan nilai listing di BEI tahun lalu menurun akibat pandemi, namun listing Bukalapak akan mendorong perusahaan lain untuk listing dan membangkitkan minat investasi pada 2021, menarik BEI keluar dari 'kelesuan' di 2020," kata Suresh.
Antusiasme tinggi dari investor retail
Berdasarkan data KSEI, terdapat 5,6 juta investor saham pada Juni 2021 di Indonesia, naik 44,45% dibandingkan akhir tahun 2020 yang sebanyak 3,88 juta investor. Para ahli berpendapat, angka-angka tersebut menunjukkan peningkatan minat di pasar modal negara. Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, mengatakan kepada media lokal bahwa minat masyarakat terhadap instrumen pasar modal merupakan pergeseran pengeluaran dari konsumsi ke investasi, sehingga meningkatkan permintaan di pasar keuangan.
CEO platform wealth management Moduit, Jeffry Lomanto, mengatakan kepada KrASIA bahwa antusiasme investor ritel dalam berburu saham berbasis teknologi saat ini sangat tinggi, terlihat dari “euforia” terhadap saham-saham bank digital yang terdaftar seperti Bank Jago ( ARTO), Bank Capital (BACA), dan Bank Neo Commerce (BBYB) pada tahun lalu. “Namun pada akhirnya, investor akan mempertimbangkan kembali dan menganalisis kecocokan antara harga saham dengan valuasi perusahaan sesuai dengan kondisi fundamentalnya,” imbuhnya.
Karena Bukalapak akan menjadi unicorn pertama yang go public, investor ritel makin ingin memiliki bagian dari perusahaan, kata Dalai dari Alvarez & Marsal. Dia membandingkan dengan harga saham Sea Group, yang meningkat pesat tahun lalu, menjadikannya perusahaan publik paling berharga di Asia Tenggara.
“Investor ritel telah melihat peningkatan belanja online sejak pandemi dan melihat landasan luar biasa dalam sektor e-commerce di Indonesia. Pasar e-commerce di Indonesia telah tumbuh lebih dari lima kali lipat antara 2015 dan 2020 dan naik lebih dari 10% di tengah pandemi tahun lalu. Saya yakin konsumen akan berbelanja online lebih banyak lagi pasca pandemi,” ucap Suresh. “Fakta bahwa perusahaan e-commerce seperti Shopee dan Bukalapak telah mencapai valuasi tinggi, meskipun mengalami kerugian yang signifikan, menunjukkan minat yang luar biasa untuk investasi dari investor ritel.”
Apakah tren ini akan berlanjut?
Jeffry dari Moduit mengatakan bahwa investor mungkin saja membeli saham dan bereksperimen—sebagian karena hype tetapi juga karena tidak mau ketinggalan. Investor pada tahap ini biasanya lebih intuitif daripada rasional, lebih agresif, dan fokus pada akumulasi kekayaan, sebutnya.
“Mereka bersedia mencoba instrumen investasi apa pun, terutama jika sedang hype. Namun, jenis investasi yang menawarkan pengembalian jangka pendek, seperti saham, emas, dan crypto, lebih disukai,” katanya.
Melihat situasi tersebut, tampaknya antusiasme investor terhadap saham teknologi kemungkinan akan terus meningkat seiring dengan perusahaan besar Indonesia yang akhirnya mencatatkan sahamnya di BEI. Namun, Jeffry mencegah risiko berinvestasi di perusahaan yang tidak menguntungkan. “Ada beberapa pertimbangan yang bisa dilakukan. Pertama, kami melihat pendorong pertumbuhan utama seperti margin operasi dan arus kas. Dengan begitu, investor bisa mengetahui seberapa mahal atau murahnya valuasi perusahaan.”
Kemudian, setelah mengalami siklus pasar penuh, termasuk untung dan rugi, investor akan berkembang, kata Jeffry. Mereka akan lebih serius membangun portofolio dan lebih fokus untuk melestarikan kekayaan. Akibatnya, instrumen investasi seperti reksa dana dan obligasi, yang memberikan stabilitas dan pengembalian jangka panjang, akan tetap diminati, tambahnya.
–Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial