Pintarnya Bicara Validasi Masalah dan Tantangan Pengembangan "Job Marketplace" Pekerja Kerah Biru
Belajar dari Co-founder & CEO Pintarnya Nelly Nurmalasari di sesi #SelasaStartup
Pekerja kerah biru (blue collar) termasuk golongan yang cukup terdampak karena Covid-19. Karena memiliki keterbatasan akses untuk mendapat peluang pekerjaan, terutama berjangka panjang, mereka menjadi terpinggirkan secara ekonomi. Padahal, jumlah pekerja kerah biru di Indonesia berkisar lebih dari 60 juta, di mana sekitar 20% menyumbangkan PDB.
Berbagai pelaku startup berupaya mengatasi masalah keterbatasan akses melalui produk digital. Pintarnya adalah salah satunya yang punya misi untuk mendemokratisasi perekrutan pekerja kerah biru melalui job marketplace. Pada #SelasaStartup kali ini, Co-founder dan CEO Nelly Nurmalasari memaparkan sejumlah catatan menarik di balik dapur pengembangan Pintarnya.
Pain point pekerja kerah biru
Validasi masalah merupakan hal paling utama dilakukan pelaku startup sebelum terjun ke pengembangan produk. Bagi Nelly, menunggu pengembangan produk sampai jadi akan memakan waktu lama. Alih-alih demikian, ia pun melakukan eksperimen tahap awal di Telegram untuk mengetahui apakah produknya worth solving.
Dari eksperimen ini, ia mendapat sejumlah pembelajaran penting berdasarkan pengalaman para pencari pekerja. Pertama, isu penemuan (discoverability). Menurutnya, sebanyak apa pun lowongan kerja yang ditampilkan, pencari kerja akan tetap bertanya. Dari sini, ia melihat bahwa yang mereka butuhkan adalah simplicity untuk melamar dan mengakses lowongan yang mereka cari.
Kemudian, aspek keamanan. Beberapa orang yang disurvei mengaku pernah mengalami penipuan saat melamar kerja atau mendapat lowongan bodong. Misalnya, meminta bayaran atau tawaran gaji yang tidak wajar. "Ini semua menjadi learning dan landasan kami untuk membuat MVP beberapa bulan lalu," tutur Nelly.
Pain point pemberi kerja
Tak hanya dari sudut pandang pencari kerja, keamanan juga menjadi aspek penting bagi para pemberi kerja (employer). Hal ini untuk memastikan bahwa pelamar sudah terverifikasi dan punya pengalaman yang real.
"Ini penting karena prinsipal ingin merasa aman untuk hire sehingga tidak mendapat pegawai salah. Bisa saja pelamar punya rekam jejak kredit macet. Ini akan mengganggu di bagian HR dan berpengaruh ke pekerjaan. Contoh lain, mempekerjakan driver tapi tidak bisa bertanggung jawab dengan mobil yang dikendarai," ungkapnya.
Tak kalah penting, ia menilai efisiensi pada screening sangat dibutuhkan oleh employer. Sejumlah HR yang diwawancara mengaku sulit untuk melakukan seleksi pelamar tanpa perlu mengecek aplikasi satu per satu. Speed to hire menjadi penting karena mereka harus tetap menjalankan bisnis.
Semua pain point ini tercermin dari produk/fitur yang dikembangkan. Misalnya, tidak perlu buat CV, track status lamaran, hingga label verifikasi. Platform lain mungkin saja menawarkan hal yang sama, tetapi 'how to' harus berbeda.
Tantangan selanjutnya
Product-market fit tentu menjadi metrik utama untuk memastikan produk worth solving. Kendati demikian, Nelly menilai bahwa saat sini solusi digital yang sesungguhnya belum ada mengingat konsep job marketplace di Indonesia masih berkembang.
Apabila dibandingkan dengan marketplace/e-commerce secara umum, tentu akan berbeda. Saat ini e-commerce memang sudah berada di fase matang. Namun, sektor ini dulu sempat mendapat keraguan di pasar karena orang belum terbiasa belanja online. Penetrasi digital juga belum seperti sekarang.
Nelly juga menyoroti bahwa pengembangan job marketplace harus sejalan dengan upaya monetisasi. Misalnya, menghubungkan layanan pencarian kerja dengan layanan keuangan.
More Coverage:
"Nah kita di fase sama. Kita perlu lihat natural pathway dari pekerja kerah biru. Bagaimana mereka mencari kerja? Apakah experience-nya akan sama atau berbeda dengan [pengguna] e-commerce? Tantangan terbesar adalah mengetahui the right formula. Tim kami masih kecil makanya kami selalu eksperimen dengan cepat untuk mencari tahu," jelasnya.
Leadership
Nelly juga menyampaikan catatan penting untuk mendorong female leader/founder lain di industri startup. Menurutnya, jangan terpaku pada standar tertentu untuk menuju kesuksesan. Apalagi, ada anggapan bahwa mereka tidak dapat menunjukkan kekuatannya karena posisinya sebagai female leader.
"Ada perspektif yang tidak pas karena mungkin melihat perempuan punya more emotional maturity dan motherly instinct. Justru jangan shy away, jangan melihat template menjadi leader harus begini. Kita bisa create lebih banyak dan menemukan kesuksesan kita sendiri." Tutupnya.