1. Startup

Sudah Saatnya Pemerintah Mendorong Perbaikan Menyeluruh Melalui Transformasi Digital

Mencoba menyajikan secuil solusi dari beberapa isu riil yang ada

Hari ini (20/7) saya melakukan perpanjangan SIM di kantor Samsat Polres Purworejo, Jawa Tengah. Setelah menjalani serangkaian proses –dari cek kesehatan, pemberkasan, pengambilan sidik jari dan foto—nama saya dipanggil oleh petugas untuk mengambil hasilnya. Bukan kartu SIM berwarna putih yang saya dapatkan, melainkan secarik kertas berwarna oranye sebagai SIM sementara. Petugas mengatakan bahwa kartu SIM belum bisa diterbitkan lantaran bahan material habis, konon di level nasional.

Saya pun menanyakan, estimasi waktu kartu SIM bisa jadi dan diambil. Petugas hanya menyarankan saya untuk datang dan memeriksa ke kantor Satlantas secara rutin untuk menanyakan – kemungkinan besar akan lebih dari sebulan. Dalam formulir pengajuan perpanjangan SIM, saya mengisikan alamat email dan kontak ponsel.

Hal menarik berikutnya ialah saat proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) beberapa waktu lalu. Prosesnya menyita perhatian hampir masyarakat seantero nusantara. Pasalnya sistem zonasi (mewajibkan calon siswa SMP dan SMA sederajat bersekolah di wilayah terdekat) kecolongan dengan adanya kecurangan, yang paling memprihatinkan disebabkan karena penyalahgunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

Aturan pemerintah memberikan porsi 20% untuk siswa ber-SKTM di tiap sekolah. Layaknya menjadi sebuah kesempatan emas, banyak peserta didik yang nilainya kurang baik diakali dengan mengajukan SKTM ke Kantor Desa untuk mendongkrak nilai.

Terkait SKTM bodong, beberapa wilayah seperti Jawa Tengah sudah melakukan langlah represif dengan melakukan cross-check dan survei ke rumah untuk peserta didik ber-SKTM. Di Jawa Tengah 78.065 SKTM dibatalkan.


Lalu mari kita amati dua kasus di atas untuk menemukan variabel yang dapat ditarik menjadi solusi. Pertama soal ketersediaan material pembuatan kartu SIM yang habis secara massal. Dalam setiap kartu SIM terdapat tanggal kedaluwarsa, berdurasi 5 tahun dan disesuaikan dengan tanggal lahir. Ini menjadi salah satu data yang sebenarnya dapat diolah untuk menghasilkan analisis dan proyeksi soal kebutuhan material kartu SIM dan arus pembuatannya.

Melalui teknik pengolahan kualitatif, data dapat digunakan untuk menemukan tren terkait dengan peak time pembuatan atau perpanjangan SIM -- sehingga dapat dijadikan rujukan untuk pemesanan bahan-bahan dalam kerangka waktu tersebut. Untuk memudahkan pembacaan data, dapat dibuat juga sebuah visualisasi sederhana yang dibagi per sektor.

Tantangannya mungkin pada infrastruktur data yang harus dibangun, mengingat data tersebut tergolong yang harus ditempatkan di server lokal. Namun jika masalahnya memang pada keterbatasan anggaran untuk itu, saat ini banyak skema penerapan teknologi yang memudahkan implementasi di tahap awal, misalnya menggunakan solusi berbasis hybrid-cloud.

Solusi tersebut bisa menempatkan sebagian data krusial ke dalam server yang dikelola secara on-premise, sisanya memanfaatkan Platform as a Services (PaaS) dan IaaS (Infrastructure as a Services) yang disediakan oleh vendor komputasi awan – khususnya untuk penyebaran dan akses layanan.

Memulai dengan integrasi data

Kemudian soal isu SKTM dalam proses PPDB. Langkah represif yang dilakukan Pemerintah Daerah setempat melakukan check & re-check SKTM dengan data kependudukan setempat. Idealnya pengecekan tersebut menjadi solusi preventif yang dilakukan saat proses pendaftaran. Sehingga tidak terlebih dulu mendapatkan tempat. Ada beberapa solusi berbasis digital yang dapat diterapkan.

Salah satunya dengan mengembangkan aplikasi sederhana yang dapat memvalidasi keabsahan SKTM. Trigger-nya bisa berupa NPWP atau NIK orang tua, sehingga diketahui jenis pekerjaan dan besaran pendapatan yang didapat. Atau jika hendak lebih mendalam, bisa juga menambahkan validasi yang didasarkan data pertanahan, untuk mengetahui aset yang dimiliki orang tua. SKTM sendiri diterbitkan secara manual oleh perangkat di Balai Desa.

Sayangnya langkah tersebut saat ini terlihat sulit terealisasi, pasalnya masing-masing badan di pemerintahan belum punya (setidaknya sejauh pengamatan saya) standardisasi dalam pengelolaan struktur data. Serta adanya model integrasi yang dapat saling dikaitkan, misalnya dalam bentuk Application Programming Interface (API) untuk kebutuhan query data.

Menjadikan transformasi digital sebagai visi

Dasar pemikiran yang harus ditanamkan bahwa transformasi digital tidak sekadar memanfaatkan komputer untuk membantu kegiatan operasional. Lebih dari itu, di dalamnya terdapat serangkaian tindakan yang mengarahkan pada efektivitas proses bisnis. Teknologi hanya satu dari banyak aspek yang harus dipenuhi, didukung aspek lain seperti inovasi berkelanjutan, kolaborasi antar pihak, pengelolaan dan analisis data, hingga mengedepankan kultur data-driven (memastikan setiap tindakan terukur dan didasarkan data).

Regulasi menjadi penting untuk menyusun ulang atau setidaknya menjadi pedoman restrukturisasi fondasi data antar lembaga. Prosesnya tidak dapat dipusatkan di awal, namun bergerak eksponensial seiring dengan peningkatan platform. Ini adalah investasi besar, namun banyak hal yang nantinya bisa dituai. Termasuk untuk bidang-bidang lain, misalnya dalam mengurangi kesenjangan sosial.

Data Bank Dunia menempatkan "Kesempatan Kerja" menjadi salah satu kesenjangan terbesar di Indonesia, dengan persentase mencapai 62,6 persen. Masyarakat dianggap sulit untuk menemukan lapangan kerja yang sesuai. Namun di lain sisi, industri juga kesulitan untuk menemukan talenta guna memenuhi tenaga kerja di perusahaannya. Mudahnya, lihat situs lowongan seperti LinkedIn, setiap hari ada jutaan kesempatan kerja ditawarkan. Masalahnya, mengapa kesempatan itu tidak berbanding lurus dengan ketersediaan di masyarakat?

Lantas sekarang kita bayangkan jika pemangku kebijakan (dalam hal ini Kemendikbud dan Kemenristekdikti) mulai menyusun strategi berbasis data. Dari kondisi riil yang ada saat ini, mereka dapat memetakan sebaran lulusan beserta kompetensi yang menjadi spesialisasi. Kemudian bekerja sama dengan Kemenaker untuk memetakan data kebutuhan tenaga kerja dari berbagai perusahaan di seluruh penjuru Indonesia.

Dari konsolidasi data tersebut maka akan didapatkan kesimpulan, kompetensi apa yang surplus dan defisit dihasilkan oleh universitas beserta sebarannya. Dibandingkan dengan kesempatan kerja apa yang surplus dan defisit dibutuhkan industri beserta sebarannya.

Disadari betul, tidak mudah melakukan perombakan ketika ada sangkut pautnya dengan kepentingan politik. Namun justru di tahun politik seperti masa-masa yang akan kita hadapi sebentar lagi menjadi kesempatan untuk me-refresh ulang calon-calon pengisi kursi pemangku kebijakan, didasarkan pada pandangan strategis nan visioner yang ditawarkan. Sulit memang untuk merealisasikan hal-hal di atas, tapi akan lebih sulit lagi saat kita mendapati ketertinggalan negara kita di jaman yang semakin kompetitif.