Tak Bisa Lepas dari Teknologi
Penggiat teknologi harus menjadi fasilitator, katalisator, sekaligus eksekutor agar bisnis tradisional tetap relevan di zaman modern
Di bulan November tahun lalu, saya diundang Sandiaga Uno dalam sebuah acara perkenalan pengurus Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI). Sebagai perwakilan media teknologi, saya terkejut tentang relevansi acara ini terhadap situasi teknologi di Indonesia. Ternyata Sandiaga menggandeng Shinta Dhanuwardoyo, yang sudah kenal di berbagai acara teknologi, untuk memegang Bidang Informasi dan Komunikasi dan berusaha merangkul teknologi untuk memajukan para pedagang tradisional. Terlepas dari isu politik sebagai bakal calon Gubernur DKI, saya melihat langkah yang diambil Sandiaga ada di jalan yang tepat.
Kenapa teknologi? Di zaman e-commerce dan teknologi on-demand seperti saat ini, kita tak bisa menafikkan fakta bahwa cara-cara tradisional tidak bisa menjadi satu-satunya cara mengembangkan pasar. Teknologi, khususnya e-commerce, menjadi sarana UKM untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Hal yang tak jauh berbeda dialami oleh pedagang di pasar-pasar tradisional.
Saya termasuk orang yang secara teratur dua kali sebulan mampir ke sebuah pasar tradisional untuk membeli bahan makanan rumah tangga. Dibanding pasar modern, seperti pasar swalayan, meskipun suasana pasar tradisional tidak sebersih dan senyaman pasar modern, ia menjanjikan bahan makanan segar dengan harga yang kompetitif.
Trade off-nya, saya harus datang pagi-pagi benar supaya bisa mendapatkan produk terbaik dan berkendara selama sekian menit (termasuk bersusah payah mencari tempat parkir kendaraan) untuk menjangkaunya. Seandainya ada cara yang lebih mudah untuk mendapatkan produk-produk ini dengan meminimalisasi dua isu tersebut, saya menyambutnya dengan tangan terbuka.
Hadirlah Groceria. Groceria, yang sudah pernah kami bahas tahun lalu, berusaha menghubungkan pedagang tradisional dan konsumen dengan konsep serupa Go-Mart atau Happyfresh. Bermula dari Surabaya, Groceria kini sudah merambah Jakarta yang diawali dengan pengakomodasian konsumen di sekitar Pasar Fatmawati. Groceria juga merupakan mitra APPSI dalam kampanye ini.
Contoh kasus yang lain adalah Limakilo, yang baru saja memperoleh pendanaan. Mereka mencoba menjadi fasilitator jaminan fair price antara petani dan konsumen. Mereka memotong rantai distribusi sehingga petani memperoleh harga jual produk pertanian yang lebih baik, sementara konsumen mendapatkan harga beli yang tidak habis-habisan di-mark up distributor.
Groceria dan Limakilo, dengan segala keterbatasan sarana logistik yang dimilikinya saat ini, mencoba memberdayakan petani dan pedagang tradisional untuk mempertahankan konsumen dan menjangkau konsumen baru.
Implementasi di sektor lain
Groceria dan Limakilo merupakan salah satu contoh bahwa teknologi bisa membantu (atau malah mematikan) bisnis-bisnis tradisional. Pertentangan antara pengemudi taksi dengan mitra Go-Jek, Uber, Grab; mulai menjamurnya berbagai layanan on-demand, dari laundry sampai perbaikan mesin AC; sampai hadirnya layanan yang mencoba membantu petani dan nelayan meningkatkan produktivitasnya adalah pengejawantahan teknologi sebagai solusi nyata.
Go-Jek, dengan segala cemoohan pemanfaatan pendanaan asing untuk memastikan bisnisnya tetap berjalan, suka atau tidak suka sudah menjadi katalisator untuk mengubah budaya kita. Budaya mencari layanan transportasi, budaya membeli makanan, budaya membeli berbagai barang kebutuhan. Bisa kah kita membayangkan hidup di kota-kota besar di Indonesia tanpa Go-Jek?
Para pedagang, petani, nelayan, atau pengemudi tidak memiliki kemampuan untuk mendorong penggunaan teknologi. Mereka bergantung pada penggiat industri untuk menjadi motor penggeraknya.
Kita tak bisa lepas dari perkembangan teknologi, begitu pula mereka-mereka ini. Inilah yang diharapkan lahir dari sebuah startup teknologi. Penggiat teknologi menjadi fasilitator, katalisator, sekaligus eksekutor agar mereka tetap relevan di zaman modern.