Menakar Adopsi Teknologi Kecerdasan Buatan di Indonesia
Diyakini sebagai teknologi yang membawa perubahan. Perusahaan digital berbondong-bodong mengalokasikan investasinya
Setelah komputasi awan dan big data, istilah teknologi yang tengah gencar diperbincangkan adalah kecerdasan buatan(artificial intelligence). Definisi paling sederhana dari kecerdasan buatan adalah otomasi komputer untuk mengerjakan berbagai pekerjaan prediktif dan terukur. Pada dasarnya kecerdasan buatan mengeksekusi setiap tugas bermodalkan algoritma dan data yang terhimpun.
Jika kemunculannya berada di belakang komputasi awan dan big data, tampaknya memang seperti itu evolusinya. Diawali dengan komputasi awan yang mampu menyediakan infrastruktur dan platform untuk memenuhi kebutuhan bisnis yang dinamis, dilanjutkan pemrosesan big data dalam pengelolaan aset terpenting bisnis saat ini, yakni data.
Kecerdasan buatan diprogram dalam mesin komputer berperforma tinggi untuk mempelajari tren historis aktivitas, lalu melakukan kalkulasi tindakan. Pada prinsipnya teknologi tersebut memungkinkan komputer untuk belajar, berpikir, dan melakukan aksi secara mandiri.
Perkembangan kecerdasan buatan
Riset PwC menempatkan kecerdasan buatan sebagai “game changer” dengan potensi nilai yang disumbangkan terhadap ekonomi global mencapai $15,7 triliun di tahun 2030 mendatang. Angka tersebut bukan muncul secara tiba-tiba, melainkan didasari pada manfaat yang diberikan teknologi tersebut. Melihat pada aplikasi kecerdasan buatan yang mulai bermunculan saat ini, riset tersebut menyimpulkan dampak baik yang dapat dirasakan langsung dalam produktivitas bisnis.
Tidak mustahil jika perkembangan kecerdasan buatan di sektor riil akan lebih cepat. Sejak memasuki tahun 2000-an, riset seputar kecerdasan buatan meningkat hampir 9 kali lipat secara kuantitas publikasi. Bahkan jika melihat penelitian yang terindeks di Scopus, kuantitas publikasi kecerdasan buatan jauh melampaui komputer sains dan publikasi lainnya secara umum sejak tahun 2010-an.
Tiongkok dan Amerika Serikat menjadi penyumbang terbesar penelitian berbasis kecerdasan buatan. Hingga tahun 2015, totalnya lebih dari 15 ribu publikasi dari Tiongkok dan lebih dari 10 ribu publikasi dari Amerika Serikat.
Firma investasi Pitchbook melaporkan pada tahun 2017 terdapat $6 miliar investasi yang digelontorkan melalui pemodal ventura untuk proyek berbasis kecerdasan buatan. Di Amerika Serikat, setidaknya ada 600 startup yang fokus di bidang tersebut pada tahun 2017. Realisasi tersebut menjadi indikasi perkembangan baik. Pasalnya konsep yang sudah diteliti dalam riset mulai dihadirkan dalam solusi yang lebih nyata.
Menurut McKinsey Global Institute, saat ini kecerdasan buatan tengah ada dalam tahap penetrasi awal di Asia Tenggara. Perkembangannya diikuti hampir semua negara di kawasan regional, didalami oleh berbagai sektor bisnis. Di kawasan tersebut, salah sektor yang terpantau paling proaktif dalam menerapkan strategi transformasi digital dengan kecerdasan buatan adalah kesehatan (healthcare) dan keuangan (financial services). Kendatipun potensi terbesar diproyeksikan tetap ada di sektor manufaktur, yakni mencapai $311 miliar.
Kondisi di Indonesia tak jauh berbeda, tengah dalam tahap penetrasi awal. Produk-produk yang dikembangkan rata-rata berbentuk automated intelligence (melakukan otomasi pekerjaan rutin/manual, misalnya membantu pencatatan dengan sistem biometrik), assisted intelligence (membantu orang untuk mengerjakan tugasnya secara lebih cepat, misalnya dalam bentuk chatbot), augmented/autonomous intelligence (membantu orang membuat keputusan dengan lebih baik, berupa sistem rekomendasi).
Dari sudut padang teknologi pendukungnya, kecerdasan buatan hadir dalam beberapa fase. Dimulai tahun 1990-an, riset profesional dan akademik mulai banyak menyoroti sistem, logika, dan algoritma yang kini menjadi landasan kecerdasan buatan. Fase berikutnya ialah kematangan analisis data dengan berbagai metodologi.
Kepintaran membedakan obyek berdasarkan data yang ada melahirkan konsep deep learning, yakni kemampuan komputer untuk mengidentifikasi data dengan format yang lebih beragam hingga mampu menganalisis sentimen tertentu tren data.
Kecerdasan buatan di Indonesia
Perkembangan bisnis teknologi dipengaruhi berbagai aspek, termasuk terkait adopsi teknologi kecerdasan buatan di Indonesia. Mulai dari iklim investasi, regulasi, sumber daya manusia, dan lain-lain. Tahun 2015, pemerintah provinsi DKI Jakarta menganggarkan dana hingga Rp30 miliar untuk menginisiasi kota pintar (smart city). Kala itu tujuan utamanya untuk menghasilkan dasbor informasi terpusat sehingga dapat membantu pemangku kepentingan dalam memutuskan tindakan. Untuk kanal masukan data, pemerintah menyiapkan lebih dari 3000 titik CCTV untuk pemantauan. Melalui aplikasi, mereka turut menghimpun laporan langsung di lapangan oleh masyarakat.
Di tahun yang sama, aplikasi Qlue mulai dikenal masyarakat ibukota. Mereka bermitra langsung dengan pemerintah untuk menghimpun informasi dari warga kota. Didesain dengan pengalaman pengguna mirip aplikasi media sosial, Qlue nyata-nyata bisa meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memberikan informasi, seperti soal birokrasi, lingkungan, hingga bencana. Informasi yang masuk terpantau langsung dalam dasbor pemerintah dan ditampilkan dalam grafik yang representatif sehingga mudah dibaca.
Tahun 2017, Qlue mulai menggandeng startup Nodeflux yang fokus pada solusi pengenalan obyek yang ditangkap CCTV sehingga memungkinkan proses pendataan di solusi kota pintar lebih otomatis. Hal ini berimplikasi pada analisis data yang lebih real time. Di tahap ini, semakin banyak teknologi kecerdasan buatan yang diaplikasikan. Tidak hanya sekadar analisis data, namun pemrosesan computer vision untuk deteksi obyek.
Di tahun 2015 juga hadir sebuah startup yang mencoba menginisiasi platform berbasis kecerdasan buatan. Kala itu namanya masih YesBoss, sebelum akhirnya berubah menjadi Kata.ai. Awalnya mereka menghadirkan asisten virtual untuk memenuhi kebutuhan orang secara pribadi, termasuk membantu reservasi hotel hingga memesan makanan. Dengan brand Kata.ai, kini mereka fokus menyajikan platform asisten virtual berupa chatbot untuk bisnis.
Kini banyak perusahaan besar di berbagai sektor berbondong-bondong memulai inisiatif chatbot untuk membuat proses pelayanan pelanggan menjadi lebih efisien. Salah satunya adalah Vira, chatbot layanan pelanggan milik BCA. Hadir di bulan Februari 2017, Vira melayani pelanggan untuk memberikan info promo, lokasi ATM, pendaftaran kartu kredit, hingga pengecekan transaksi perbankan. Vira dapat diakses melalui platform Messenger, Kaskus, Line, dan Google Assistant.
Investasi untuk startup kecerdasan buatan
Di Indonesia, GDP Venture menjadi salah satu investor yang serius mendukung startup pengembang layanan kecerdasan buatan. Untuk mengetahui visi GDP Venture terkait fokus berinvestasi di solusi kecerdasan buatan, DailySocial menghubungi CTO GDP Venture yang juga menjabat sebagai CEO & CTO GDP Labs On Lee.
Menurut On Lee, kecerdasan buatan sudah sangat relevan diterapkan secara luas di sektor publik atau privat. Indikasinya saat ini banyak orang yang tidak sadar bahwa telah menggunakan aplikasi bertenaga kecerdasan buatan setiap hari, misalnya Alexa, Siri, Cortana, Google Assistant, fitur auto-complete dan auto-correct di ponsel pintar, mesin pencari, dan sebagainya.
Pernyataan tersebut menggarisbawahi bahwa teknologi kecerdasan buatan sebenarnya sudah diaplikasikan secara luas, dimulai dari hal-hal sederhana dalam penggunaan ponsel sehari-hari. Fitur auto-correct, misalnya, memang terlihat sederhana dalam penggunaan, namun jika mendalami sistem di baliknya, dibutuhkan pemrosesan canggih yang mampu melakukan pengecekan susunan huruf, lalu melakukan pencocokan dengan basisdata kata yang dimiliki secara kilat sehingga terbentuk rekomendasi kata yang sesuai.
Terkait sejauh mana bisnis di Indonesia mengadopsi kecerdasan buatan, On Lee tidak setuju jika dikatakan secara umum masih sebatas tren atau sekadar jargon untuk pemasaran produk. Salah satu portofolio GDP Venture adalah Prosa.ai yang secara khusus mengembangkan platform Natural Language Processors (NLP) untuk Bahasa Indonesia. Penerapan untuk layanan text and speech processing sudah ada di beberapa skenario, salah satunya di Kaskus untuk penyaringan dan moderasi konten.
"Meskipun benar bahwa keterampilan kecerdasan buatan belum terdistribusi secara merata, perusahaan portofolio GDP Venture, BCA, dan beberapa perusahaan sudah memiliki aplikasi yang diberdayakan kecerdasan buatan. GDP Venture telah berinvestasi pada startup kecerdasan buatan lokal maupun internasional, karena [bagi kami] kecerdasan buatan adalah teknologi strategis sekaligus investasi. Kami percaya bahwa kecerdasan buatan menjadi teknologi transformasional seperti internet, komputasi awan, dan komputasi mobile," ujar On Lee.
Penetrasi kecerdasan buatan di sektor riil akan lebih cepat dari yang dibayangkan. Untuk dapat memanfaatkan keunggulan teknologi tersebut, On Lee menuturkan secara umum sebuah bisnis perlu melakukan beberapa hal. Pertama dengan mendidik semua karyawan mengenai kecerdasan buatan. Kedua, mulai menjajaki kemitraan dengan perusahaan yang memiliki keterampilan kecerdasan buatan. Ketiga, melakukan percobaan dengan proyek kecil berbasis kecerdasan buatan.
Keempat, menetapkan strategi kecerdasan buatan di seluruh perusahaan -- layaknya transformasi digital yang dilakukan dengan internet, komputasi awan dan sebagainya. Yang kelima adalah melakukan peninjauan dan pengamatan tentang pemanfaatan kecerdasan buatan di perusahaan, sehingga mendapatkan strategi implementasi yang layak.
Berikut ini perusahaan portofolio GDP Venture yang secara khusus memberikan solusi kecerdasan buatan:
Selain GDP Venture, banyak startup besar yang kini mulai berinvestasi besar untuk kecerdasan buatan. Salah satunya Bukalapak. Baru-baru ini mereka meresmikan Artificial Intelligence & Cloud Computing Innovation Center di ITB. Harapannya lab kemitraan tersebut nantinya dapat menghasilkan temuan inovatif untuk mendorong perkembangan fitur-fitur di layanan marketplace ini.
Startup unicorn lain, seperti Gojek dan Traveloka, juga sudah berinvestasi untuk melakukan kegiatan serupa. Meskipun demikian, mereka cenderung mengembangkan pusat penelitian di luar negeri, seperti penerapan pusat R&D Traveloka yang baru di Bangalore, India. Misinya sama: untuk menangkap peluang baru dari potensi teknologi pintar demi meningkatkan kenyamanan pengguna.