Tren Teknologi yang Diadopsi Berbagai Industri Selama Pandemi
Dari bidang kesehatan sampai manufaktur dan keuangan, semuanya dipaksa untuk mempercepat penerapan teknologi
Pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Beradaptasi dengan kondisi baru ini bukanlah pekerjaan mudah, dan itu dirasakan oleh hampir seluruh industri di dunia. Di saat yang sama, pandemi juga memicu pengadopsian berbagai tren teknologi di sejumlah bidang industri.
Beberapa dari perubahan ini bahkan bisa bersifat permanen dan akan terus berlanjut meski pandemi sudah berakhir. Twitter contohnya, yang belum lama ini membuat kebijakan bahwa karyawan-karyawannya boleh lanjut bekerja dari kediaman masing-masing sampai seterusnya.
Sebagian besar dari perubahan yang diterapkan mengacu pada tren digitalisasi. Digitalisasi bukanlah hal baru dan sebenarnya sudah digagaskan sejak lama di sejumlah industri. Kendati demikian, adopsinya terbilang lambat, namun pandemi pada akhirnya memaksa industri-industri untuk mengadopsinya sesegera mungkin.
CB Insights baru-baru ini merilis laporan ekstensif terkait tren-tren teknologi yang diadopsi oleh beragam industri di dunia. Secara umum, sejumlah trennya sebenarnya sudah eksis sejak sebelum pandemi, seperti misalnya tren industrial automation di bidang manufaktur. Namun sekali lagi, pandemi secara otomatis mempercepat pengadopsiannya.
Dalam beberapa kasus, pandemi juga berhasil mendemonstrasikan potensi suatu teknologi yang tadinya cuma dipandang sebelah mata. Contoh yang paling gampang adalah teknologi 3D printing, yang selama pandemi ini memegang peran penting dalam hal produksi APD (alat pelindung diri) untuk tenaga medis.
Tren di bidang pelayanan kesehatan
Kita mulai dari bidang yang berkaitan langsung dengan pandemi itu sendiri, yakni pelayanan kesehatan alias healthcare. Sebelum pandemi, konsultasi dengan dokter via telepon atau panggilan video mungkin terbilang jarang dilakukan, tapi sekarang mau tidak mau kita harus menerapkannya.
Studi yang pernah dilakukan American Medical Association menunjukkan bahwa sekitar 75% dari sesi kunjungan ke dokter maupun IGD semestinya bisa ditangani secara efektif lewat telepon atau video call. Sebelum pandemi, mungkin banyak pihak yang mengesampingkan hal ini, namun sekarang sebagian besar akhirnya menyadari bahwa hal itu benar. Sebelum pandemi, kita mungkin tidak pernah tahu akan eksistensi layanan telemedicine.
Pandemi secara tidak langsung juga menumbuhkan mindset bahwa kita harus rutin memonitor kesehatan masing-masing, dan cara termudah untuk melakukannya adalah dengan menggunakan smartwatch atau fitness tracker. Inilah yang pada akhirnya menjelaskan mengapa penjualan smartwatch justru naik selama pandemi, setidaknya di Amerika Serikat.
Pandemi juga memicu pertumbuhan pengadopsian teknologi virtual reality (VR) di bidang kesehatan. Salah satu fungsinya adalah untuk memfasilitasi program pelatihan yang aman, semisal untuk tenaga-tenaga medis baru yang ditugaskan buat menangani pasien COVID-19. Ketimbang mengekspos mereka langsung ke lapangan, ada baiknya mereka dipersiapkan dulu melalui program pelatihan VR.
Singkat cerita, pandemi pada dasarnya membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan VR untuk mendemonstrasikan potensinya di ranah medis dan enterprise.
Tren di bidang pekerjaan secara umum
Seperti yang kita tahu, nyaris semua kantor mendadak kosong selagi masing-masing karyawannya bekerja dari rumah. Kalau bukan karena kemudahan mengakses layanan video conference, mungkin sebagian besar perusahaan bakal keteteran menugaskan karyawan-karyawannya.
Penyedia layanan video conference sendiri juga banyak berbenah seiring demand atasnya naik drastis selama pandemi. Google contohnya, yang belum lama ini memutuskan untuk menggratiskan layanan Google Meet, membuka aksesnya ke lebih banyak lagi pengguna.
Pandemi tak cuma memicu pertumbuhan pengguna sebuah layanan video conference, tapi juga mempercepat penyempurnaan teknologinya. Google Meet lagi-lagi saya pakai sebagai contoh, sebab mereka belum lama ini merilis fitur noise cancelling demi semakin memudahkan rutinitas para penggunanya. Padahal, sebelum pandemi mungkin fitur semacam ini tidak dianggap krusial.
Tren di bidang pendidikan
Pengadopsian teknologi di ranah pendidikan sebenarnya sudah cukup pesat sebelum pandemi melanda, akan tetapi COVID-19 memaksa pengadopsiannya agar lebih ngebut lagi. Anak saya yang baru menginjak usia 4 tahun harus merasakan pengalaman sekolah pertamanya secara online tidak lama lagi.
Hal ini sulit terwujud apabila tidak ada campur tangan dari para pelaku teknologi. Saya bisa bilang begitu karena platform tatap muka virtual yang digunakan oleh sekolah anak saya nantinya adalah Google Meet, dan seperti yang sudah saya singgung tadi, Meet sendiri baru digratiskan aksesnya secara menyeluruh pasca pandemi melanda.
Di sisi lain, platform penyedia online course juga melihat peningkatan konsumen yang cukup pesat. Kalau saya boleh menjawab, ini dikarenakan banyak dari kita yang memiliki banyak waktu luang, tapi tidak bisa hura-hura di luar rumah seperti biasanya. Ketimbang sia-sia, kenapa waktu luangnya tidak dialokasikan ke belajar saja (tidak harus akademik, tapi bisa juga bakat-bakat praktis), dan di situlah platform online couse menyediakan solusi.
Tren di bidang manufaktur
Pandemi sejatinya menghadapkan industri manufaktur pada dua kondisi yang berbeda, tapi dua-duanya merugikan: menutup pabrik dan menyetop jalannya produksi, atau tetap membuka pabrik tapi dengan risiko membahayakan para karyawannya.
Di saat yang sama, pandemi pada dasarnya menciptakan alasan baru bagi pelaku industri manufaktur untuk menerapkan teknologi di bidang automation. Kalau alasan-alasan penerapan automation sebelumnya cuma perkara efisiensi atau penghematan ongkos, sekarang ada alasan kesehatan juga; berkat automation, pabrik bisa tetap buka tanpa sepenuhnya mengekspos seluruh karyawan.
Seperti yang tadi sempat saya singgung di awal, pandemi juga berhasil mendemonstrasikan potensi lebih luas dari 3D printing. Dulunya sempat digadang-gadang bakal merevolusi industri, sampai tahun lalu pun 3D printing pada kenyataannya masih masuk kategori yang sangat niche dan terbilang menarik hanya untuk kalangan hobbyist.
Kalau sebelumnya saya ditanya apa kegunaan terbesar 3D printing, mungkin saya akan menjawab untuk mempercepat proses prototyping. Namun sekarang, 3D printing terbukti berjasa besar dalam membantu mempercepat proses produksi APD. Fleksibilitas dan adaptabilitasnya dalam memenuhi demand yang tinggi adalah kunci mengapa 3D printing bisa berhasil di kondisi seperti ini.
Tren di bidang retail
Jauh sebelum pandemi melanda, sebagian besar dari kita mungkin sudah sangat familier dengan yang namanya belanja online. Meski begitu, kemungkinan besar yang masuk daftar belanja bukanlah kebutuhan sehari-hari seperti sayur, daging, telur, dan lain sebagainya.
Hal itu berubah semenjak pandemi COVID-19. Layanan online grocery kini jadi semakin banyak digunakan; mereka yang tadinya enggan, mau tidak mau akhirnya mencoba layanan online grocery karena mereka tidak berani mengambil risiko harus berbelanja sendiri di pasar atau supermarket.
Saya tidak tahu Anda bagaimana, tapi yang pasti saya sendiri melihat daftar transaksi online saya bertambah banyak dalam beberapa bulan terakhir. Saking seringnya saya belanja online, kurir ekspedisi yang biasa datang mengantar barang sampai hafal dengan saya – barang diantarkan bukan ke rumah saya, tapi ke saya langsung yang sedang jalan-jalan sore di komplek rumah.
Selain online grocery, adopsi AR dan VR di platform e-commerce juga meningkat selama pandemi. Pemicunya apa lagi kalau bukan kebutuhan akan cara untuk melihat atau mencoba produk yang hendak dibeli secara online. Gambar dan deskripsi saja tidak cukup, terkadang kita perlu mendapat gambaran terkait dimensi fisiknya secara langsung, dan itu mudah sekali disajikan lewat AR.
Produsen produk-produk kecantikan seperti L'Oreal atau Sephora juga memanfaatkan AR guna membantu para konsumennya menjajal produk secara virtual. Melihat warna lipstick yang hendak dibeli langsung terpampang di atas bibir tentu jauh lebih meyakinkan ketimbang melihat warnanya saja pada gambar produk yang tertera.
Tren di bidang layanan konsumen
Menyambung perkara transaksi online yang bertambah tadi, beberapa perusahaan juga melihat semakin pentingnya peran chatbot atau virtual assistant. Hype akan chatbot sendiri sempat redup, terbukti dari dihilangkannya fitur Discover pada Facebook Messenger, dan Discover sebelumnya adalah gerbang menuju ribuan chatbot yang ada.
Pandemi bahkan juga menempatkan chatbot di ranah medis. Beberapa organisasi kesehatan di Amerika Serikat memanfaatkan chatbot untuk memandu publik melakukan identifikasi gejala-gejala COVID-19 sendiri di rumahnya masing-masing, sehingga mereka bisa memutuskan untuk mengarantina diri sendiri tanpa perlu menyempatkan (dan mengekspos) dirinya ke rumah sakit.
Tren di bidang keuangan
Saya yakin tidak sedikit dari kita yang memanfaatkan layanan pembayaran elektronik seperti GoPay atau Ovo hanya untuk menikmati beragam promosi menarik yang disediakan penjual makanan dan minuman. Namun semenjak pandemi, metode elektronik akhirnya kita jadikan pilihan utama atas alasan kesehatan.
Daripada harus berkontak fisik (lewat pertukaran uang), kenapa kita tidak membayar menggunakan smartphone saja? Dari situ pada akhirnya kita juga bisa menyimpulkan soal pentingnya NFC di ponsel. Yang tadinya sebatas fitur pemanis, sekarang terkesan esensial karena pandemi.
Pandemi juga membuka peluang bagi tren digital banking untuk merebut sebagian pangsa pasar industri perbankan tradisional. Berhubung banyak cabang bank yang terpaksa mengurangi jam pelayanan, calon nasabah yang hendak mendaftarkan rekening baru tentu bakal kesulitan. Lain ceritanya kalau mereka hendak mendaftar rekening bank digital, sebab semuanya bisa langsung dijalankan lewat aplikasi.
Tren di bidang keamanan
Saya yakin sebagian besar dari masyarakat Indonesia masih agak menyepelekan soal privasi dan cybersecurity. Namun semenjak pandemi, publik akhirnya mulai menyadari akan pentingnya topik tersebut.
Salah satu pemicunya adalah sederet kasus seputar celah privasi yang melanda Zoom, dan Zoom sendiri sempat menduduki puncak daftar aplikasi gratis terpopuler di Android selama beberapa waktu. Ketika sesuatu yang sangat populer diberitakan secara negatif, tentu saja nyaris semua orang mengetahui atau paling tidak mendengarnya, bukan?
Tren di bidang hiburan
Di sektor hiburan, pandemi merupakan momok buat industri olahraga, sebab semua event bergengsi terpaksa harus dibatalkan. Bukan cuma olahraga tradisional saja, ekosistem esport pun juga terganggu karena dibatalkannya banyak turnamen.
Lucunya, ketika kompetisi olahraga dan turnamen esport sama-sama dibatalkan, beberapa pihak penyelenggara olahraga justru memakai platform esport sebagai alternatif untuk menjangkau para penggemarnya. Contoh terbarunya adalah seri balapan Le Mans yang digantikan oleh balapan virtual di game rFactor 2. Bahkan balap kuda pun juga diganti dengan versi virtual yang dibuat menggunakan kombinasi CGI dan algoritma.
Di luar gaming, aktivitas streaming Netflix dan kawan-kawannya tentu juga meningkat drastis selama pandemi.
Tren di bidang layanan makanan
Tanpa harus terkejut, pandemi beserta larangan untuk makan dan minum di tempat memicu kenaikan demand atas layanan food delivery. Ini secara langsung juga berdampak pada meningkatnya tren cloud kitchen, yang sejatinya merupakan kumpulan penjual makanan dan minuman yang tidak melayani dine-in.
Di Amerika Serikat, tidak sedikit restoran yang harus memecat karyawannya pasca pandemi melanda. Namun sebaliknya, cloud kitchen justru dikabarkan bersiap untuk berekspansi lebih luas. Di Indonesia sendiri, ada Gojek yang bermitra dengan startup India untuk mewujudkan rencananya membuka 100 cloud kitchen sampai akhir tahun depan.
Sumber: CB Insights. Gambar header: Pixabay.