Ekonomi Retail Tak Bangkit Meski TikTok Shop Ditutup
Secara global, ekonomi dunia mengalami pengereman pasca pandemi. Juga berdampak di Indonesia
Kemarin pemerintah melakukan langkah drastis membatasi langkah TikTok Shop di tanah air. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan bakal merevisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 50 Tahun 2020, sehingga media sosial dalam hal komersil hanya diperbolehkan memfasilitasi promosi barang atau jasa atau mengiklankan.
Hal ini berdampak luas, termasuk membatasi gerak TikTok Shop yang bisa dibilang menjadi fenomena industri e-commerce tahun ini. TikTok Shop disinyalir menjadi penyebab sepinya pasar-pasar retail, termasuk Tanah Abang. Popularitas TikTok Shop meroket, seiringnya dengan semakin populernya platform media sosial ini di berbagai kalangan, khususnya anak muda. Algoritmanya dianggap lebih baik dibanding platform serupa.
Promosi besar-besaran, atau yang lazim disebut "bakar uang", yang dilakukan TikTok Shop dianggap mengganggu bisnis UMKM dan Pemerintah melakukan langkah untuk "memproteksinya". Proteksi di sini harus digarisbawahi mengingat penjual di TikTok Shop tentu saja bervariasi, dari UMKM hingga brand besar.
Di penutupan hari ini, saham Sea Ltd, pemilik Shopee, di Bursa Saham New York langsung menguat 11%. Sementara GoTo, induk Tokopedia, juga naik 5%. Kedua pesaing tedekat TikTok Shop ini pasarnya tergerus karena fokus mereka adalah mengejar profitabilitas.
Tentu saja pertanyaan besarnya tetap harus dijawab: Apakah penutupan TikTok Shop akan membuat kembali ekonomi bergairah di pasar rakyat?
Kelesuan ekonomi dunia
Secara global, ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Ketika pandemi, banyak negara yang mencetak uang secara berlebihan demi mempertahankan ekonomi yang terdampak lockdown.
Efek samping kebijakan ini mulai dirasakan tahun 2022, ketika inflasi meroket dan daya beli terus menurun. Inflasi yang mencapai angka dua digit membuat pelaku kebijakan di negara ekonomi adidaya terpaksa terus menaikkan suku bunga. Praktis nilai uang yang dimiliki masyarakat tidak sebagus sebelum pandemi.
Di tahun 2023, kondisi sedikit membaik, terutama dengan berakhirnya pandemi dan pembatasan mobilitas, tetapi efek bola saljunya telah menghasilkan dampak sistemik. Masyarakat semakin berhati-hati membelanjakan uangnya untuk kebutuhan apapun.
Perubahan perilaku belanja
Selama pembatasan mobilitas di masa pandemi, masyarakat dimudahkan dengan pembelian berbagai barang secara online. Terjadi akselerasi masif terhadap adopsi e-commerce. Toko retail yang secara gradual selama 10 tahun terakhir mulai tergusur mendapatkan pukulan telak.
Berbagai mall menjadi lebih sepi. Tidak cuma di Indonesia, hal ini juga terjadi di Amerika Serikat dan Tiogkok. Berbagai pusat perbelanjaan, baik yang berada di sisi jalan maupun di dalam mall, kini tak lagi memiliki tenant. Yang penting adalah punya pusat distribusi untuk mengirimkan barang langsung ke konsumen.
Dimulai dari ketersediaan platform e-commerce, kenyamanan berbelanja online menjadi semakin "pintar" ketika TikTok memasuki segmen ini.
TikTok, dengan algoritma pintarnya, mencoba membaca tren di media sosial dan mengonversinya menjadi barang-barang yang disinyalir bakal disukai konsumen. Hasilnya ternyata spot on. Konsumen suka dengan rekomendasi yang disodorkan TikTok, tak hanya soal promosinya.
TikTok Shop merangsek dalam waktu singkat menjadi salah satu yang terdepan di industri e-commerce tanah air. Menurut prediksi Momentum Works, tahun ini transaksi (GMV) di TikTok Shop Asia Tenggara mencapai $15 miliar (Rp 230 triliun) atau setara pangsa pasar Tokopedia dan Lazada.
Penutupan TikTok Shop bisa menjadi "berkah" bagi para pesaingnya.
Langkah berikutnya
More Coverage:
Kombinasi kelesuan ekonomi, prioritas alokasi dan perubahan perilaku belanja membuat Tanah Abang tak lagi ramai. Sebelum pandemi, masa-masa bulan Puasa adalah masa keemasan penjual pakaian di kawasan Tanah Abang. Macet mengular di mana-mana adalah hal biasa. Kini kondisi ini tak lagi terjadi.
Antara orang-orang mengurangi belanja di kategori pakaian (karena prioritas belanja) atau perubahan perilaku belanja menuju kemudahan online, keramaian ekonomi retail telah bergeser.
Konsumen bukan tidak butuh barangnya, melainkan mereka merasa lebih nyaman melakukan swipe sambil bersantai di kamar. Sudah usang konsep harus bepergian jauh dan berdesakan demi mendapatkan barang impian.
Sinergi antara platform online dan para pedagang retail harus terus dilakukan. Mereka saling membutuhkan. Pelatihan cara berjualan, fulfillment, dan bahkan melakukan live shopping (jika perlu) adalah cara merangkul kebiasaan baru.
Semua harus beradaptasi atau mati, karena zaman dan tren terus berubah. Penutupan TikTok Shop hanyalah kambing hitam, karena pasar akan menemukan keseimbangan baru dan itu tidak lagi terjadi di sentra rakyat.
Sign up for our
newsletter