Kewajiban TKDN 40% untuk Smartphone 4G Belum Tentu Tekan Harga
Banyak komponen utama smartphone yang masih diimpor, vendor berharap insentif untuk memproduksi komponen lokal
Saat ini pemerintah sedang sibuk menyiapkan aturan soal implementasi 4G berbasis Frequency Division Duplex-Long Term Evolution (FDD-LTE) di frekuensi 1800 MHz. Ya, pada tahun ini seharusnya pelanggan seluler sudah bisa menikmati layanan generasi keempat di frekuensi ideal yang paling dinanti.
Dalam hal ini, pemerintah cukup teliti dalam mempersiapkan berbagai hal berkaitan dengan penggelaran layanan 4G oleh operator. Ini bukan hanya masalah layanan saja, tetapi juga mencakup ekosistem handsetnya. Frekuensi 1.800 MHz disebut-sebut memiliki ekosistem paling siap. Pasalnya, frekuensi ini banyak dipakai operator telekomunikasi di dunia untuk adopsi teknologi 4G.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara tempo hari menyebutkan ekosistem handset 4G perlu dibentuk agar penetrasi layanan 4G juga dapat naik. Jika melongok teknologi sebelumnya, penetrasi layanan 3G saat ini tercatat kurang dari 30% terhadap total pengguna seluler yang diperkirakan melebihi jumlah penduduk Indonesia.
Oleh karena itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian menggagas ide yang rencananya dituangkan dalam bentuk aturan, yakni kewajiban tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) handset 4G mencapai 40% pada 2016.
Artinya produsen handset lokal punya waktu dua tahun untuk memastikan target tersebut dapat tercapai. "Jika ada produsen handset yang tidak memenuhi hal itu, izin impornya dicabut. Nantinya gagasan lintas kementerian ini hanya dalam satu Keputusan Menteri (KM) saja," katanya.
Keinginan pemerintah disambut beragam respon dari beberapa vendor lokal. Advan misalnya, mereka tidak siap jika harus mengejar target dalam waktu dua tahun. Hal ini terbentur oleh belum banyaknya produsen komponen handset lokal di Indonesia. Kalaupun ada, produsen komponen masih mengimpor dari luar.
"Apabila pemerintah memberikan insentif terhadap industri spare part, cost yang berlaku bagi kami menjadi tidak mahal. Dengan begitu, harga jual handset juga tidak akan mahal juga," ujar Direktur Marketing Advan Tjandra Lianto.
Pemberian insentif dapat memacu para produsen komponen di Indonesia untuk memproduksi komponen lokal. Jika produksi komponen lokal tinggi, tentu mudah bagi produsen untuk mencapai target TKDN yang ditetapkan pemerintah.
Sementara VP Product Marketing SpeedUp Rahmad Widjaja menilai rencana aturan tersebut masih abu-abu, sebab pemerintah tidak kunjung memberikan kejelasan soal pemenuhan TKDN handset 4G. "Kita tidak tahu pajak yang dikenakan untuk komponen lokal itu berapa persen. Kalau mahal, artinya sama saja," ujarnya.
Wajar saja jika pemerintah ingin pelanggan seluler dapat menikmati layanan 4G tanpa harus terbebani dengan harga handset yang mahal. Alasan utama TKDN tersebut sebetulnya ingin merangsang produktivitas dalam negeri agar membangun pabrik di sini. Dengan demikian, pemerintah dapat menekan impor yang nilainya tinggi tersebut.
Menurut data Kementerian Perindustrian per Agustus 2014, nilai impor handset di Indonesia telah mencapai $2,1 miliar. Pembangunan pabrik rakitan di Indonesia diharapkan dapat menekan impor 10-15% pada tahun ini.
Masalah TKDN tidak melulu berakhir pada harga jual murah kepada pelanggan. Paling tidak pemerintah berupaya untuk menciptakan ekosistem agar ketersediaan handset 4G semakin mudah. Beberapa produsen handset lokal saat ini sudah mulai membangun pabrik rakitan di tanah air, seperti Advan, Evercoss, dan Polytron.
“TKDN 40% belum tentu membuat harga handset menjadi murah, karena semua komponen utamanya masih impor, misalnya saja chipset. Kewajiban TKDN akan memaksa industri untuk bertumbuh kembang di negeri sendiri,” ujar Pengamat Telematika Teguh Prasetya.
Sign up for our
newsletter