Pasrah Menghadapi Kebocoran Data di Tanah Air
Tanpa UU Perlindungan Data Pribadi, insiden kebocoran data diyakini akan terus berulang
Apa yang bisa kita lakukan sebagai pengguna layanan digital ketika data yang kita serahkan justru bocor dan diperjualbelikan di pasar gelap? Di Indonesia, jawabannya hampir tidak ada. Rentetan kasus kebocoran data beberapa waktu terakhir menunjukkan konsumen berada di posisi terlemah dalam siklus ini.
Belum jelas nasib kebocoran data di Tokopedia dan Kredit Plus, kasus serupa terulang lagi. Kali ini Cermati dan RedDoorz yang kena bidik peretas. Sekitar 2,9 juta data di Cermati yang digondol peretas berisi bermacam data mulai dari alamat email, kata sandi, alamat, nomor telepon, pendapatan, bank, nomor pajak, nomor identitas, hingga nama ibu kandung. Set data ini tergolong sensitif dan berharga untuk diperjualbelikan.
Jumlah data yang dicuri dari Reddoorz lebih banyak mencapai 5,8 juta data. Data itu berupa nama, alamat email, nomor telepon, dan detail pemesanan. Peretas menjual gelondongan data itu seharga US$2.000 atau sekitar Rp28 juta.
Selain mengambil langkah pencegahan, apa yang bisa kita lakukan sebagai pengguna jika dirugikan akibat kebocoran data yang sudah terjadi?
Pratama Prasadha, peneliti keamanan siber dari Communication and Information System Security Research Center (CISSRec), mengakui kondisi saat ini memang menyulitkan konsumen platform digital menggugat penyelenggara sistem dan transaksi elektronik (PSTE). Pasalnya memang tidak ada satu pun kewajiban hukum yang bisa dikenakan kepada PSTE atas kelalaian mereka.
"Di Indonesia sulit bagi konsumen untuk melakukan tuntutan hukum atas kebocoran data pribadi yang dikelola PSTE. Adapun konsumen atau masyarakat dalam posisi sangat lemah untuk meminta pertanggungjawaban PSTE," ujar Pratama.
Pratama menjelaskan, sejatinya ada sanksi yang bisa dikejar konsumen sesuai Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016. Pasal 36 menyebutkan ada sejumlah sanksi administratif bagi mereka yang melanggar ketentuan berupa peringatan lisan, peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, dan/atau pengumuman di situs dalam jaringan.
Dilihat dari sudut mana pun, jenis sanksi tersebut terlampau ringan jika dibandingkan risiko yang harus dihadapi oleh pengguna yang datanya sudah tercecer di mana-mana. Pratama menilai tanpa ancaman hukuman yang serius, hampir dipastikan insiden kebocoran data akan terus berulang.
"PSTE tidak ada kewajiban mengamankan dengan sebaik-baiknya karena juga tidak ada ancaman hukuman bila lalai," imbuh Pratama.
Damar Juniarto dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menekankan saat ini memang belum ada mekanisme yang bisa ditempuh konsumen baik secara perdata maupun pidana atas kerugian yang mereka derita. Tanpa peraturan yang betul-betul melindungi masyarakat sebagai konsumen dan warga negara, perlindungan data pribadi masih sebatas wacana.
"Selama belum ada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, sulit membayangkan akan ada perbaikan," tegas Damar.
Denda jumbo
Sudah banyak orang mendambakan RUU PDP segera disahkan menjadi peraturan resmi. Bertahun-tahun DPR selalu meminggirkan beleid ini untuk segera disahkan. Padahal keadaan di lapangan menunjukkan RUU PDP makin dibutuhkan untuk melindungi masyarakat yang kian terekspos terhadap layanan digital.
Salah satu yang disebut bisa mencegah maraknya kebocoran data adalah sistem denda yang akan dikenakan kepada PSTE. Proses penyusunan RUU PDP kerap disebut berkiblat pada GDPR (General Data Protection Regulation) milik Uni Eropa. Pemberian sanksi denda yang berat adalah salah satu karakter GDPR. Tak jarang aturan itu bisa menjerat suatu entitas yang bersalah dengan denda puluhan hingga ratusan juta euro.
Yang jadi persoalan dalam pembahasan RUU PDP selama ini belum ada kepastian apakah sistem denda dan sanksi administratif jadi fokus utama atau sistem pidana yang akan dipilih. Namun anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris mengatakan beleid tersebut akan meninggalkan sanksi pidana untuk menghindari tumpang tindih dengan peraturan lain.
"Dalam berbagai perdebatan, ya, dan masukan yang kami terima dari beberapa stakeholder alangkah baiknya apabila aturan sanksi pidana yang sudah diatur dalam UU lain tidak lagi diatur di UU PDP," ujar Charles seperti dikutip dari Kompas.
Contoh denda jumbo itu seperti Inggris yang menuntut Marriot membayar denda 99 juta poundsterling atau sekitar Rp1,8 triliun karena gagal melindungi data konsumen mereka yang bocor. Belum lama Inggris juga menuntut British Airways membayar denda 183 juta poundsterling atas kelalaian mereka. Pada akhirnya kedua perusahaan tadi diampuni dengan denda lebih rendah karena menghadapi kesulitan finansial akibat pandemi.
Selama pemberlakuan sanksi denda tersebut belum ada di Indonesia, banyak pihak ragu ada perubahan berarti dalam lanskap keamanan digital. Tanpa ancaman serius terhadap PSTE, insiden kebocoran data adalah sebuah keniscayaan. Lebih parah lagi hal tersebut bisa berakibat buruk terhadap kepercayaan konsumen.
Namun masyarakat sepertinya patut bersabar lebih untuk RUU PDP. Pasalnya kecil kemungkinan DPR dapat meloloskan RUU PDP di tahun ini dengan masa sidang yang tak lama lagi.
"Harapan saya di 2020 ini kita sudah bisa memiliki UU PDP. Tapi mengingat sisa masa sidang tinggal 1 bulan lagi sepertinya agak sulit direalisasikan," ucap Charles dalam webinar dengan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Hingga saat ini tidak ada satu pun kasus kebocoran data yang diusut tuntas. Insiden Bukalapak, Tokopedia, Kredit Plus, Cermati, dan Reddoorz masih tak ada kejelasan siapa yang harus bertanggung jawab. Pertanyaan juga perlu dialamatkan ke Kemenkominfo, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang bertugas mengawasi dan mencari pertanggungjawaban PTSE terhadap konsumen.
Sign up for our
newsletter