Willson Cuaca Menanamkan Lebih dari Sekadar Uang dalam Sebuah Bisnis
Salah satu investor yang paling aktif dalam industri VC bercerita tentang investasi dalam bisnis individu
Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.
Sebagai salah satu investor yang paling aktif dalam industri VC, Willson Cuaca telah berinvestasi lebih dari sekadar uang dalam sebuah bisnis. Sejak awal, ia percaya pada ekonomi digital Indonesia dan Asia Tenggara.
Banyak orang hanya memandang Wilson identik dengan industri VC, sementara ada banyak bidang yang juga ia kuasai dengan baik. Ia merasa terlahir untuk berada dalam industri teknologi, menggeluti bidang komputer sedari belia hingga berbagai pencapaian sebagai nomor satu di masa-masa awal kariernya . Siapa sangka ia tumbuh menjadi seseorang dengan intuisi tinggi yang berhasil masuk ke dalam industri melalui pendekatan yang berbeda.
Didirikan pada tahun 2009, portfolio East Ventures kini sudah mencapai 160 startup dan beberapa diantaranya sudah profitable. Tahun ini tercatat sebagai ulang tahun ke 10 mereka dan pastinya banyak kisah yang sudah menanti. Ia percaya pada kekuatan bangsa ini beserta populasinya.
Di sini, Willson membahas perkara keyakinan serta nilai inti dalam menjalankan bisnis. DailySocial telah menerjemahkan percakapan tersebut ke dalam susunan paragraf di bawah ini.
Anda dikenal sebagai salah satu investor paling aktif di dalam industri VC. Kapan Anda mulai merintis karier ini?
Banyak orang mungkin berpikir saya hanya bermain dalam industri VC, padahal sejak awal saya sangat melekat dengan hal-hal terkait komputer dan jaringan.
Saya memulai perjalanan akademik di Binus University pada tahun 1996, di mana Binus baru dinobatkan menjadi universitas - sebelumnya bernama STMIK. Masa-masa kuliah saya dipenuhi dengan kegiatan selain belajar. Saya juga menjadi instruktur kursus di BNTRC sebelum berganti nama menjadi Binus Center. Di tengah jadwal yang ketat sekalipun, saya masih punya waktu untuk bersenang-senang dengan bermain game.
Saya selalu berusaha menjadi yang pertama mempelajari segalanya. Selama kuliah, saya mempelajari semua tentang jaringan area lokal dan mendalami Linux yang kemudian menjadi inti sistem Android dan iOS. Slackware menjadi distribusi Linux favorit saya saat itu. Saya mencoba memahami lebih dalam dan menjadi salah satu orang pertama yang belajar tentang peralatan Cisco. Setelah itu, saya ditunjuk menjadi instruktur Cisco Certified pertama di Indonesia yang melatih insinyur Cisco untuk mendapatkan sertifikasi CCNA, dan menjadi bagian dari tim pendiri Cisco Networking Academy di Indonesia.
Pada tahun 2000, saya menyelesaikan pendidikan di universitas kemudian diangkat sebagai Kepala Infrastruktur di sebuah perusahaan pertanian. Pekerjaan ini mengharuskan saya untuk mengelola konektivitas intra-jaringan nasional yang sangat luas.
Mengapa Anda pindah ke Singapura?
Sebenarnya, saya adalah seseorang yang mudah bosan, saya merasa perlu mencari sesuatu yang baru untuk dilakukan. Saat itu masih tahun 2001, ketika saya mengamati tren internet security dan memiliki ilmu yang cukup untuk menjadi spesialis, mendukung beberapa perusahaan di Singapura.
Sekitar tahun 2006, aplikasi web semakin populer lalu saya termotivasi untuk membuat aplikasi sendiri bernama Foyage. Hal ini terjadi sebelum iPhone diluncurkan dan Blackberry banyak digunakan. Saya juga menjadi bagian dari pengembang iPhone pertama di Singapura dan satu dari beberapa pengembang Blackberry pertama di kawasan ini.
Setelah Foyage, saya juga menciptakan Apps Foundry dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi dan aplikasi. Terobosan pertama kami adalah Scoop - #1 digital magazine reader di Indonesia- yang kemudian diakuisisi oleh Kompas.
Boleh ceritakan sedikit tentang masa-masa awal berdirinya East Ventures? Bagaimana Anda menemukan mitra saat ini?
Relasi saya dengan Batara sudah terjalin jauh sejak 1993 ketika kami masih berada di SMA. Ketika saya pergi ke Jakarta, ia melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Jepang. Sementara saya berjuang dengan Foyage, ia pun memutuskan keluar dari perusahaannya sendiri yang bernama Mixi. Mixi merupakan sebuah situs web yang memulai debut di pasar saham pada tahun 2006 dan bernilai miliaran dolar, hal ini terjadi sebelum istilah unicorn mencuat ke permukaan. Kami kemudian kembali berkolaborasi untuk membuat East Ventures pada tahun 2009 dengan dua mitra lainnya. Taiga Matsuyama, salah seorang mitra, adalah investor pertama Batara di Mixi.
Foyage mengumpulkan dana awal dari skema investasi pemerintah Singapura pada tahun 2008. Sampai pada akhirnya saya menyadari bahwa Indonesia juga memiliki peluang besar dalam industri ini. Pada tahun 2009, kami memutuskan untuk membentuk East Ventures.
Kami memulai Jakarta Ventures Night, mengundang beberapa investor dari Jepang dan juga startup lokal. Pada tahun 2010, turut berpartisipasi dalam acara tersebut, Rama Mamuaya dari DailySocial, serta William Tanuwijaya dari Tokopedia, yang akhirnya menjadi portfolio pertama kami. Setelah itu, kami berinvestasi di Disdus dan berhasil exit untuk pertama kali. Sebenarnya, kami adalah VC pertama yang memiliki siklus lengkap dan hal itu seketika meningkatkan kepercayaan diri kami. Hal ini kemudian membantu menciptakan the flywheels effect.
Hingga saat ini, East Ventures telah berinvestasi di 160 perusahaan, sebagian besar adalah startup tahap awal yang berfokus pada konsumen internet, ponsel, SaaS, media, pendidikan ritel, dan banyak lagi. Baru-baru ini, beberapa diantaranya telah mendapatkan keuntungan mengikuti ekonomi digital Indonesia yang telah mencapai titik perubahan.
Dengan begitu banyak portofolio di tangan, bagaimana Anda bisa mengaturnya?
Kuncinya adalah berinvestasi pada individu. Setelah Anda menemukan seseorang yang tepat dan klik, Anda akan percaya sepenuhnya pada kemampuan mereka untuk berjalan secara independen dan membawa hasil terbaik melalui kesepakatan ini.
Kami membutuhkan 3 titik keselarasan dengan pengusaha. 1. visi, masalah apa yang harus dipecahkan, apa tujuannya? 2. strategi, bagaimana menyelesaikannya, bagaimana cara sampai ke sana? 3. taktis, hal ini lebih kepada eksekusi.
East Ventures dan tim pendiri harus memiliki visi yang sama. Lagipula, saya tidak percaya bahwa investor dapat mengubah portofolionya. Kami bisa menyarankan strategi tetapi individu (para pendiri) adalah yang lebih tahu apa yang terbaik untuk perusahaan mereka.
Anda telah meluncurkan aplikasi, membuat VC, serta menjalankan bisnis. Selama perjalanan karier Anda, adakah hal yang menjadi batu sandungan?
Tentu saja, ada pasang surut, tetapi satu hal yang saya selalu yakini adalah "hal-hal yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat".
Saya pernah sangat putus asa karena tidak bisa mengumpulkan dana untuk Foyage, namun saya bukanlah tipe orang yang berhenti dan meratap sementara industri kian berkembang pesat. Kami mendirikan East Ventures pada tahun 2009, dimana sangat sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari orang-orang pada saat itu. Kami pergi ke beberapa tempat, tetapi tidak ada yang percaya, kecuali beberapa investor Jepang, itu pun karena kepercayaan pada Batara. Namun, saya merasa disini letak kekuatan untuk tidak menyerah sampai sampai pada titik di mana semua bagian pada akhirnya tersusun rapi.
Jika tidak ada yang percaya pada industri digital Indonesia, bagaimana bisa Anda percaya?
Secara emosional, ini karena saya orang Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Dalam hal bisnis, ada 30 juta pengguna internet di Indonesia. Pasar ini berukuran sangat besar, mengapa tidak ada yang membuat pergerakan? Saat itu, masalahnya hanya satu. Jika kita mulai sekarang, kapan kita akan berhasil? Di sinilah peran keyakinan sangat diperlukan.
Masalahnya, Indonesia mampu membuat sesuatu yang mustahil terjadi. Alih-alih berbicara tentang American Dreams, mengapa kita tidak bisa menciptakan Mimpi Indonesia. Kita terlalu fokus pada kisah beberapa orang yang menciptakan hal-hal besar di suatu tempat, mengapa tidak kita saja yang menyelesaikannya dan membuat orang melihat kita. Inferiority complex semacam ini seharusnya lenyap dari pola pikir kita. Kita adalah bangsa yang hebat dengan begitu banyak populasi.
Apa yang membuat Anda memutuskan untuk menanamkan investasi?
Ada tiga hipotesis tentang individu; 1. integritas, standar moral, Anda melakukan hal yang benar bahkan ketika tidak ada yang melihat, 2. kesadaran diri, mengetahui kapasitas dan kemampuan diri sendiri, 3. paradoks, memiliki sifat kontradiktif, yang berarti adaptif. Hal-hal ini tidak dapat dipelajari secara langsung atau dipalsukan.
Begitu saya menemukan kriteria ini pada setiap orang, tidak perlu lagi banyak berpikir atau membuang waktu. Itulah sebabnya sebagian besar penawaran bagus kami terjadi dalam waktu 28 jam setelah pertemuan pertama. Secara konsisten, hal ini terjadi dengan Tokopedia, Traveloka, Kudo, Shopback, Ruangguru, Sociolla, The Fit Company, Kedai Sayur, Bahasa.ai dan banyak lagi. Kami juga mencoba menciptakan ekosistem yang sehat di VC ini. Karenanya, saya tidak akan berinvestasi dalam bisnis yang memiliki persaingan. Kami mendukung para pendiri kami dengan sepenuh hati.
Perihal latar belakang akademis, bagaimana Anda melihat orang-orang dengan gelar dari luar negeri memiliki dampak dalam industri ini?
Secara kasual, orang-orang yang belajar di luar negeri akan memiliki privilese untuk mendapatkan wawasan lebih serta pengetahuan global. Namun, saya tidak percaya orang yang belajar di luar negeri akan selalu lebih sukses. Yang saya percayai adalah, setiap orang harus memiliki pengetahuan global untuk mengetahui apa yang terbaik dalam eksekusi lokal. Hal ini tidak harus dengan belajar di luar negeri.
Selama bertahun-tahun bertahan menjalankan bisnis dalam industri. Apakah Anda memiliki support system khusus?
Keluarga harusnya menjadi dukungan mendasar yang membentuk diri kita saat ini. Saya juga percaya bahwa karakter itu dikembangkan, bukan dipelajari. Inilah mengapa saya merasa sulit untuk percaya pada konsep akselerator atau mentoring yang bertujuan untuk mengubah seseorang menjadi entepreneur.
Program akselerator, mereka mungkin telah melakukan proses dengan kurasi ketat untuk menemukan bakat, tetapi dalam konsep saya, sebuah permata yang sudah tercipta, meskipun tertutup tanah, adalah tetap permata. Potensi itu ada sejak awal dan berkembang melalui zaman.
Saya percaya pada serendipity, itulah sebabnya saya memusatkan perhatian pada individu. Konsep Chronos dan Chairos, bahwa setiap orang memiliki garis waktu mereka sendiri, dan saat keduanya bertemu, keputusan dibuat, apakah akan terlibat atau tidak dalam kehidupan masing-masing.
Jika Anda benar-benar percaya pada industri digital Indonesia, mengapa Anda tidak tinggal saja di Indonesia?
Di Singapura, kami selalu mendapatkan skenario terbaik, dalam hal regulasi dan banyak hal lain. Sementara di Indonesia, semuanya menjadi kasus terburuk, hal-hal tak terduga kerap terjadi. Saya ingin mempertahankan kesadaran dengan berada di dalam kontras. Seperti Yin dan Yang, jika diibaratkan. Jadi, hidup saya bisa lebih kontras dengan pikiran yang lebih jernih untuk mengidentifikasi sebuah masalah.
Selain itu, Singapura saat ini merupakan hub di Asia Tenggara.
Setelah meraih berbagai pencapaian "nomor satu" dalam industri komputer dan teknologi, juga dengan East Ventures, apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?
Ini juga menjadi pertanyaan yang selalu hadir dalam diri saya setiap hari, Apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Bagaimana saya bisa menurunkan pengetahuan saya ke tim yang ada saat ini, lalu mereka dapat melanjutkannya dengan kapasitas mereka sendiri, dengan gaya mereka sendiri, serta memiliki entitas sendiri.
Saya tidak bisa menjalankan peran ini selamanya, itulah sebabnya saya memiliki mitra. Saya ingin membangun East Ventures dan menjadikannya sebuah institusi, membesarkan tim generasi berikutnya, dan memastikan setiap mereka tetap setia pada misinya, untuk menjadi Platform Kewirausahaan. Kemudian, saya akan memiliki waktu dan ruang untuk memikirkan sesuatu yang baru lagi - atau mungkin saya akan melakukan ini selamanya. Mari menunggu waktu yang tepat agar semua bisa selaras.
Jika Anda memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang industri VC, apa yang akan Anda katakan?
Industri VC saat ini memiliki kue yang jauh lebih besar. Indonesia, dengan begitu banyak masalah di negara ini, menawarkan banyak peluang. Jadi, saya pikir industri VC akan betah di sini.
Bagi saya, industri VC adalah tentang bisnis individu. Teknologi sendiri hanyalah alat.
–Artikel ini awalnya ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian
Sign up for our
newsletter