Investasi Masa Kini untuk Generasi Muda Indonesia
Rangkuman diskusi #SelasaStartup terkait investasi masa kini bersama Marco Poetra Kawet (IDX) dan Vivi Handoyo Lie (Bibit)
Digitalisasi telah memberi dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan dunia investasi di tanah air. Penetrasi teknologi diyakini telah memperkecil entry barrier atau keadaan yang menghalangi orang untuk mulai berinvestasi. Mulai dari kehadiran platform teknologi hingga penyebaran konten literasi menjadi 'bekal' untuk para generasi muda memulai investasi.
DailySocial.id mengundang dua figur terkait untuk membahas kondisi industri investasi masa kini untuk para generasi muda Indonesia dalam sesi diskusi #SelasaStartup. Mereka adalah Head of IDX Marco Poetra Kawet dan Head of Financial Education Bibit Vivi Handoyo Lie.
Secara umum, investasi adalah ketika kita menempatkan sesuatu di masa kini dengan harapan bisa berkembang di masa depan. Hal ini termasuk berinvestasi pada diri sendiri. Terkait finansial, investasi sangat dipengaruhi oleh pemilihan instrumen yang tepat. "Instrumen investasi yang tepat akan membawa kalian mencapai tujuan finansial. Kalau tidak berkembang, berarti ada yang salah," ungkap Marco.
Ada beberapa alasan mengapa banyak orang yang masih enggan untuk mulai berinvestasi. Pertama, anggapan bahwa investasi itu membutuhkan uang yang banyak. Kedua, proses berinvestasi dinilai rumit, ditambah banyak sentimen negatif disebabkan kasus investasi bodong yang banyak menimpa masyarakat awam.
Lain dulu, lain sekarang. Investasi masa kini sudah tidak lagi mengharuskan investor untuk datang secara langsung untuk setiap proses administratif. Peran regulator yang memungkinkan digitalisasi di sektor ini seperti eKYC berdampak signifikan bagi pertumbuhan dunia investasi masa kini. Evolusi dalam sektor ini sangat terbantu oleh infrastruktur digital, penetrasi internet, juga penggunaan smartphone.
Kontribusi platform teknologi
Kehadiran aplikasi wealthtech dengan multi-aset investasi diklaim menjadi salah satu faktor pendorong tren kenaikan investor ritel. Hal ini dikarenakan mereka dapat mengintegrasikan beberapa kelas aset untuk memperluas portofolio, mengawasi asetnya, dan membantu perencanaan untuk tujuan jangka panjang.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia per 14 Oktober 2021, jumlah investor pasar modal telah tumbuh sebesar 489 persen mencapai 6,5 juta investor, dibandingkan pada akhir 2017 lalu yang masih di angka 1,12 juta. Hal ini juga didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap investasi.
Sebagai perwakilan IDX, Marco mengungkapkan bahwa pihaknya menyambut baik startup teknologi yang telah menyediakan platform investasi. Ia turut memaparkan informasi bahwa sekitar 80% dari total investor di pasar modal adalah generasi muda, rata-rata berumur di bawah 40 tahun.
"Peran generasi muda ini sangat besar. Dengan angka yang besar ini, tentunya membutuhkan dukungan dari semua stakeholder. Kita berharap semua stakeholder tetap comply dengan aturan yang ada. Kita beri keleluasaan sebisa mungkin untuk menggaet investor menggunakan berbagai platform dan social media yang ada," ujarnya.
Bibit sendiri memiliki misi untuk mempermudah akses terhadap investasi, termasuk dengan kolaborasi bersama perusahaan teknologi lainnya. Salah satu partnernya adalah Bank Jago. Pihaknya ingin menciptakan jaringan seluas mungkin. Dengan kolaborasi, harapannya adalah bisa menciptakan fitur yang membuat investasi lebih memiliki value.
"Ke depannya, kami tidak hanya ingin mempermudah untuk para investor memulai, tetapi juga dalam memilih instrumen investasi yang tepat, serta dalam menjalani setiap prosesnya. Kita mau menghadirkan solusi yang scalable. Kita mulai dari Stockbit untuk saham, lalu kita hadirkan Bibit, untuk investor pemula," ungkap Vivi.
Di Indonesia sendiri, selain Bibit, banyak platform yang menawarkan kemudahan berinvestasi untuk pemula seperti Moduit yang memang secara tegas menargetkan generasi muda sebagai sasarannya. Ada juga Ajaib yang belum lama ini menawarkan investasi aset kripto, salah satu instrumen yang juga tengah diminati masyarakat.
Penyebaran konten literasi
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia berada di level 38,03% pada 2019. Angka ini menunjukkan, dari setiap 100 jiwa penduduk hanya ada sekitar 38 orang yang memiliki pemahaman tentang lembaga keuangan dan produk jasa keuangan dengan baik. Dengan demikian terdapat 62 jiwa penduduk lainnya yang belum memiliki literasi keuangan.
Salah satu penggerak investasi yang cukup kuat adalah FOMO atau fear of missing out. Banyak orang yang latah dan akhirnya hanya ikut-ikutan. Meskipun hal ini bisa mencemplungkan mereka di kolam investasi, namun tetap harus bijak dalam memilih. Marco menyampaikan pentingnya bagi investor untuk punya analisa sendiri.
Generasi jaman sekarang sudah sangat dimanjakan dengan platform-platform yang menyajikan data perusahaan yang sudah diproses oleh provider. Tidak seperti jaman dulu yang masih harus melihat laporan keuangan masing-masing perusahaan. Platform ini bisa digunakan sebagai referensi, namun tetap disesuaikan dengan preferensi pribadi dan profil risiko.
Demikian pula konten-konten terkait investasi dan literasi keuangan sudah semakin banyak beredar. Meskipun begitu, tetap harus selektif dalam menyaring informasi. Pastikan realibilitas dan legalitas dari sumbernya. Platform teknologi seperti Bibit juga menawarkan kelas gratis untuk mereka yang mau memperdalam pemahaman terkait investasi.
Edukasi mindset itu penting, jangan cuma cari cepat untung. Investasi ini konsepnya lebih ke marathon. Intinya, investasi membutuhkan komitmen dan usaha. "Kalau bisa tanpa usaha dan analisa apapun di saham, semua orang bisa kaya. Harus ada kemauan untuk belajar," ujar Vivi.
Menurut Vivi, instrumen investasi yang cocok untuk pemula tidak bisa disamaratakan. Pilih investasi yang sesuai jangka waktu dan profil resiko. Saham memiliki profil risiko yang lebih tinggi, pergerakannya lebih volatile. Di sisi lain, obligasi lebih sederhana untuk jangka panjang. Begitu pula untuk jangka pendek, ada pilihan lainnya. Kembali pada pilihan instrumennya.
Instrumen seperti reksa dana bisa menjadi pilihan, karena ada profesional yang bantu mengelola. Selain itu ada juga Surat Berharga Negara (SBN) untuk pemula, namun dana harus disimpan dalam jangka waktu lama. Ada beragam strategi investasi mengacu pada instrumennya.
"Yang mau ditanamkan adalah, ada banyak pilihan instrumen investasi. Tidak masalah condong ke mana. Intinya, generasi muda berinvestasi di jalur yang tepat. Terkait porsinya, bisa disesuaikan," ujar Marco.
Investasi di tengah isu resesi
Menurut Marco, Indonesia dewasa ini tengah berusaha mengubah pola dari saving society menuju investment society. Ekosistemnya sedang dan masih berlangsung. Bahkan di tengah isu resesi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia disebut kian melejit, dengan kontribusi generasi muda pada 60% PDB negara.
Terkait investasi di tengah ancaman resesi ini, Vivi menegaskan bahwa dalam ekonomi dan pasar modal, naik turun itu biasa. Resesi sendiri bukanlah hal baru. Menurut perhitungannya, separah apapun penurunan yang terjadi, pasar akan selalu kembali ke nilai awalnya, bahkan lebih tinggi. Pesan Vivi, "Untuk yang sudah mulai investasi, kalau kalian khawatir, ingat lagi tujuan awal berinvestasi. Buat yang belum mulai, jangan biarkan isu resesi menjadi alasan untuk tidak mau memulai."
Marco menambahkan ada empat indikator fundamental ekonomi. Pertama, harga tukar Rupiah dengan USD, rendah bukan berarti kita terpuruk. Ini menlibatkan dominasi global, Amerika menunjukkan itu dengan pengaruh USD. Kedua, terjadinya inflasi yang kemudian coba diredam dengan kenaikan suku bunga. Ketiga, cadangan devisa negara. Lalu, yang terakhir, non-performing loan (NPL) untuk menghitung kemampuan masyarakat dalam menyelesaikan tanggung jawabnya.
Menurut Marco, orang yang berhasil adalah orang yang bisa melihat momentum. "It's about momentum. Anda mau jadi orang yang termakan isu atau mengambil momentum? Resesi bisa jadi pertimbangan, tetapi tidak menghalangi investasi," tutupnya.
Sign up for our
newsletter