Daya Tarik Konsep Beli Sekarang Bayar Nanti Memicu Pergerakan Perbankan di Indonesia
Dengan neraca yang lebih dalam, bank memiliki sumber daya untuk mengembangkan produk BNPL tetapi itu tidak menjamin replikasi inovasi tekfin
“Beli sekarang, bayar nanti” (BNPL) menjadi salah satu jenis produk fintech yang paling populer di Indonesia saat ini. Seperti namanya, BNPL memungkinkan pelanggan untuk melakukan pembelian dan melakukan pembayaran sebagian dari waktu ke waktu hingga lunas. BNPL kian mendapat momentum di Indonesia selama dua tahun terakhir sebagai bagian dari sektor e-commerce dan fintech yang semakin matang. Pemain utama di sektor ini antara lain Kredivo, Akulaku, Traveloka PayLater, GoPay, Ovo, dan ShopeePay.
Tahun lalu, 55% pengguna e-commerce baru memilih untuk menggunakan opsi BNPL ketika mereka melakukan pembelian di platform e-commerce, menurut survei oleh Kredivo dan Katadata Insights Center. Survei tersebut diambil dari 10 juta transaksi di enam platform e-commerce yang dilakukan antara Januari dan Desember 2020. Secara keseluruhan, 41% konsumen mengatakan mereka menggunakan BNPL untuk mengendalikan arus kas bulanan mereka.
Tak mau kalah, berbagai lembaga keuangan konvensional memasuki segmen ini dengan menggandeng penyedia fintech dan BNPL. Misalnya, Traveloka bersanding dengan pemberi pinjaman milik negara BRI dan Mandiri masing-masing pada tahun 2019 dan 2020, untuk penawaran BNPL mereka.
Sementara itu, BNI telah bermitra dengan Traveloka dan Shopee PayLater. Pada bulan September, BNI dan Traveloka meluncurkan “nomor kartu virtual” yang memungkinkan pengguna Traveloka PayLater untuk melakukan transaksi di platform e-commerce di luar ekosistem platform pemesanan perjalanan.
Beberapa bank sedang mengembangkan produk BNPL mereka sendiri. Bank Mandiri dikabarkan berencana untuk meluncurkan produk BNPL pada kuartal keempat tahun 2021, dengan batas saldo hingga Rp 5 juta (USD 350). Layanan pembanding CIMB Niaga diharapkan akan diluncurkan tahun depan, sementara BCA dikabarkan sedang mengkaji kemungkinan untuk mengeluarkan produk serupa.
“Hal ini adalah perkembangan alami dari industri teknologi. Seiring dengan semakin matangnya adopsi teknologi dan pasar, para pemain lama akan mulai mengikuti dan menciptakan produk mereka sendiri,” Kenneth Li, partner di MDI Ventures mengatakan kepada KrASIA.
BNPL bukanlah konsep baru. Sama halnya dengan produk pembiayaan cicilan yang sudah ada. Namun, BNPL telah mendapatkan momentum karena kemudahan yang dibawa oleh integrasi berbasis aplikasi dengan platform e-commerce.
Meskipun aplikasi kartu kredit mungkin memerlukan waktu berhari-hari atau berminggu-minggu untuk disetujui, pengguna dapat mengajukan permohonan untuk akun BNPL dan menerima pemberitahuan aktivasi dalam waktu 24 jam, menjadikannya pilihan yang lebih disukai oleh banyak generasi muda.
“Penetrasi kartu kredit di Indonesia sangat rendah, sekitar 5%. Lalu, sejak pandemi dimulai, produksi kartu kredit melambat. Hal ini menunjukkan peluang bagi BNPL untuk menyalip kartu kredit dalam hal penetrasi, terutama karena sifat produk yang scalable,” sebut Kenneth.
Dalam hal penyaluran pinjaman pribadi jangka pendek seperti BNPL, bank yang sudah mapan memiliki beberapa keunggulan. Bank memiliki neraca yang lebih dalam yang membedakan mereka dari startup fintech yang sudah meraih pendanaan selangit. Hal ini memberi bank sarana untuk menawarkan batas yang lebih tinggi daripada penyedia fintech mandiri. Bank juga memiliki basis konsumen dan pedagang besar yang mungkin lebih bersedia untuk mengadopsi layanan baru, terutama jika mereka digabungkan dengan fitur yang ada. Produk BNPL baru yang dikembangkan oleh bank mendiversifikasi penawaran mereka, memberikan lembaga cara baru untuk menjangkau pelanggan yang tidak memiliki kartu kredit, seperti pemilik UMKM.
Namun, Kenneth berpendapat, tidak mudah bagi bank konvensional untuk meniru inovasi tekfin. “Bank-bank tradisional dibatasi oleh peraturan dan kepatuhan, belum lagi ambang batas risiko mereka juga lebih rendah daripada pemain BNPL penuh.” Kenneth percaya bahwa bank dan penyedia tekfin dapat hidup berdampingan di sektor ini. Dia memperkirakan akan lebih banyak bank yang bekerja sama atau bahkan mengakuisisi platform fintech untuk menawarkan layanan ini daripada mengembangkan produk mereka sendiri dari awal.
“Daripada mengambil risiko untuk menciptakan dan menerapkan pengeluaran ke dalam model bisnis baru yang mungkin tidak berfungsi, akan lebih bijaksana untuk bermitra dengan pemain yang ada dan memanfaatkan ekosistem yang sudah mapan seperti perusahaan e-commerce yang sudah memiliki jutaan pedagang dan pelanggan,” ujar Kenneth.
–Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial