Genjot Inklusi Belakangkan Literasi: Janjikan Untung, Malah Jadi Buntung
Berkaca pada kasus investasi bodong yang baru-baru ini ramai dibahas
Saya ingat betul, awal tahun 2020 lalu memutuskan untuk membeli buku "The Intelligent Investor" karya Benjamin Graham. Buku tersebut saya beli setelah mengikuti beberapa sesi diskusi seputar investasi dan rekomendasi dari teman-teman yang saya percaya. Di balik itu, sebenarnya niatan saya mengkhatamkan buku itu tak lain untuk meyakinkan diri bahwa investasi di pasar modal dan/atau reksa dana bisa menjadi pilihan yang tepat untuk mengamankan aset dari inflasi.
Jujur, saya baru benar-benar mulai fokus berinvestasi di pasar modal dan reksa dana awal 2022 -- dengan artian secara konsisten setiap bulan selalu menyisihkan sebagian dari pendapatan untuk dimasukkan ke sana. Butuh waktu lebih dari 2 tahun untuk meyakinkan diri, riset, belajar, dan eksperimen terkait instrumen investasi ini. Sebelumnya, saya cukup konvensional dalam berinvestasi.
Dengan proses yang panjang tersebut, ternyata membuat saya tergolong "ketinggalan zaman", karena banyak teman di sekeliling sudah memulai investasi saham dan reksa dana sejak beberapa tahun belakangan. Persisnya saat wealthtech app ala Ajaib, Bibit, Pluang, dan sejenisnya beranjak populer.
Namun, dengan proses pendalaman yang cukup lama ini, setidaknya saya sudah tidak kaget ketika mendapati salah satu portofolio saham saya mendapati return minus lebih dari 30%. Karena saat membeli saham perusahaan tersebut, saya merasa sudah tahu bagaimana strategi dan arah perusahaan tersebut akan berkembang – toh saya tidak biasa membuka aplikasi investasi setiap hari, bahkan cenderung saat hendak top-up saja, setidaknya untuk masa sekarang.
Menyepelekan pemahaman
Sayangnya tidak semua orang memulai investasi dengan kesiapan – atau setidaknya pemahaman dasar mengenai instrumen yang hendak dimasuki. Alih-alih menempatkan kegiatan tersebut sebagai bagian dari kebutuhan terencana, tidak sedikit yang hanya bermodal motivasi biar tidak ketinggalan jaman, istilah kekiniannya FOMO (Fear Of Missing Out). Lihat saja di forum-forum diskusi investasi, nilai saham naik-turun satu digital sudah banyak yang teriak-teriak merugi atau melaba.
Memang sebagian tujuannya trader, alias mencari keuntungan dari transaksi jual-beli, namun tetap saja tanpa pemahaman yang benar ujung-ujungnya akan merugi sendiri. Tidak usah jauh-jauh, kita saksikan pemberitaan media mainstream yang akhir-akhir ini heboh soal kasus aplikasi binary option yang ternyata terindikasi judi. Bermodal keinginan untuk kaya secara instan, akses mudah ke platform, dan grup diskusi yang dimentori influencer, orang dengan mudah mempertaruhkan aset mereka untuk sesuatu yang kurang dipahami risikonya.
Mudah termakan jargon
Faktanya, menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2019 oleh OJK, indeks literasi keuangan sebesar 38,03%; sementara indeks inklusi keuangan sebesar 76,19%. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia secara umum belum memahami dengan baik karakteristik dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan. Sementara terkait akses ke layanan keuangan justru telah terbuka lebar dan sudah banyak dimanfaatkan.
Lantas, apa yang memotivasi orang-orang untuk sangat berani meletakkan aset mereka ke instrumen investasi tertentu – termasuk mereka yang dirugikan karena binary option alias judi berkedok investasi? Seperti diketahui salah satu strategi pemasaran platform investasi adalah dengan menggembor-gemborkan jargon-jargon yang cukup menggugah. Misalnya dengan selalu menggoreng pernyataan kurang lebih: “investasi yang risikonya tinggi akan berbanding dengan hasil pengembalian yang tinggi, pun demikian sebaliknya.” Tidak ada salahnya, tapi kadang kurang pas pemahaman yang ditangkap.
Selain itu masih banyak jargon-jargon persuasif lain yang secara langsung memang membuat para pembacanya terdorong untuk turut andil dalam hype investasi ini. Belum lagi dibumbui dengan promo dan diskon yang banyak disuguhkan untuk pengguna awal. Dengan proses on-boarding ke platform yang memang relatif mudah, tak ayal kemudian banyak yang bergabung dengan bermodal coba-coba. Belum lagi program afiliasi berhadiah fantastis yang turut pengguna untuk mengajak orang-orang di sekitarnya bergabung. Sekali lagi, ini tidak ada salahnya, namun pemahaman mengenai risiko sering dihiraukan.
Kewajiban melakukan edukasi
Terkait kasus binary option yang baru-baru ini terjadi, salah satu strategi yang dilakukan untuk menggaet ‘korban’ adalah dengan memermak seorang ikon menjadi sosok yang sukses berjuluk “crazy rich”. Flexing tersebut ternyata berhasil menyita perhatian publik dan bikin orang bertanya-tanya bagaimana agar bisa menjadi berlimpah harta seperti mereka. Diikutilah cara-cara mereka dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, walau pada akhirnya tidak akan pernah menang seperti mereka.
Teknik tersebut berhasil. Nyatanya sebuah grup Telegram yang dikelola salah satu sosok tersebut mampu menjaring lebih dari 220 ribu anggota aktif.
Korban-korban ini sejatinya ada karena mereka telat memahami tentang apa yang sebenarnya ditawarkan – platform investasi yang ternyata tidak sesuai dengan kaidah investasi. Ini bisa terjadi karena dua hal: (1) tidak adanya transparansi dalam penyampaian informasi; (2) tidak ada sosialisasi mengenai risiko yang mungkin bisa dialami. Proses edukasi yang dilakukan tidak komprehensif, sehingga informasi yang didapat menjadi kurang berimbang.
Padahal dalam beleid yang dilahirkan untuk memayungi platform keuangan berbasis teknologi, otoritas selalu menekankan aspek edukasi sebagai salah satu hal wajib yang dilakukan penyedia layanan. Ambil contoh tertuang dalam Pasal 33 POJK 77/2016, mewajibkan penyelenggara layanan fintech untuk melakukan kegiatan peningkatan literasi dan inklusi berbentuk sosialisasi dan edukasi minimal 12 kali di 12 kota dan provinsi berbeda. Materi edukasi pun ditentukan, mulai dari pengelolaan keuangan, pemahaman industri, sampai dengan produk dan jasa beserta risikonya.
Tidak hanya platform investasi
More Coverage:
Niatan ingin menjadi nasabah agar terbantu namun malah menjadi korban – ini sebenarnya tidak hanya berpotensi terjadi pada konteks platform investasi bodong saja. Bahkan bisa mencakup layanan lain yang sudah masuk koridor legal juga. Misalnya layanan payday loan dan paylater yang menjanjikan pinjaman instan; tanpa pemahaman yang benar tentang tata kelola keuangan, alih-alih membantu platform tersebut bisa saja menjadi bumerang yang justru membuat keuangan seseorang menjadi berantakan.
Inklusi keuangan telah terdongkrak naik secara signifikan, membuktikan bahwa digitalisasi berhasil mendapatkan penerimaan baik di tengah masyarakat. Sayangnya literasi keuangan indeksnya masih jauh di bawahnya. Analoginya seperti ini, inklusi ini seperti kemampuan menyetir mobil, sementara literasi adalah pemahaman tentang rambu-rambu. Saat banyak orang menyetir mobil namun tidak paham rambu-rambu, maka akan terjadi kekacauan di jalanan. Sayangnya jalanan yang kacau tidak hanya merugikan pengemudi tersebut, namun bisa berdampak pada pengemudi-pengemudi lain, apalagi yang masih baru.
Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kemudahan akses ke layanan finansial harus benar-benar diimbangi dengan pemahaman yang baik bagi para penggunanya. Banyak upaya yang baiknya digencarkan dalam kaitannya edukasi terus-menerus, termasuk salah satunya dengan menjadikan literasi keuangan menjadi materi wajib di bangku sekolah. Regulator juga dapat terus mendorong para pemilik platform untuk berperan lebih aktif menggencarkan berbagai kegiatan sosialisasi – terutama menyasar kalangan early adopter yang jumlahnya masih sangat banyak.