Investor Tanggapi Kesenjangan Pendanaan Startup "Environmental Impact" di Indonesia
Pengembangan butuh waktu lama sehingga berisiko terhadap komersialisasi produk dan investasi
Industri startup Indonesia sebagian besar diisi model bisnis yang bersifat customer-centric. Terpopuler adalah e-commerce, ride-hailing, fintech, logistik, edtech, dan healthtech. Dari seluruh vertikal ini, Indonesia berhasil mengantongi enam unicorn dan jumlah ini diprediksi terus bertambah.
Meskipun demikian, ada yang luput dari fenomena ini. Kita melihat bahwa beberapa tahun terakhir ini semakin banyak startup yang concern terhadap perbaikan lingkungan. Produk yang dikembangkan bervariasi, seperti energi terbarukan (renewable energy), produk kemasan yang dapat terurai (biodegradable), atau manajemen sampah/limbah (waste management).
Fenomena ini menunjukkan bahwa tak hanya dampak sosial saja yang menjadi misi utama yang diemban oleh pelaku startup di Indonesia, tetapi juga lingkungan (environmental impact). Padahal, biasanya kegiatan semacam ini banyak dilakukan oleh korporasi berskala besar lewat program CSR, yayasan, atau lembaga non-profit.
Kendati demikian, geliat pertumbuhan startup ini belum diimbangi oleh venture capital (VC) apabila dibandingkan dengan vertikal bisnis lain sebagaimana disebutkan di atas. Bagaimana Patamar Capital, New Energy Nexus, dan Kolibra Capital menanggapi tren kesenjangan investasi ini?
Saling menunggu siapa yang mengambil langkah pertama
Kesenjangan investasi rupanya tak hanya dialami oleh pelaku startup di tahap awal. Sempat ada masa di mana startup ini sulit mencari pendanaan karena investor semakin selektif berinvestasi. Alih-alih, mereka justru memperbanyak portofolionya pada startup tingkat lanjut yang scalability bisnisnya lebih jelas.
Bagi Direktur Investasi New Energy Nexus Indonesia Yeni Tjiunardi, kesenjangan ini juga dirasakan startup lingkungan. Ia menilai masih banyak persepsi bahwa investasi di bidang ini sulit untuk bisa profitable. Artinya profitabilitas diprediksi baru terealisasi dalam jangka waktu yang panjang. Persepsi ini membuat jumlah investor peminat menjadi terbatas.
Di Indonesia, jika mengacu pada tabel di bawah ini, dapat terlihat bahwa belum banyak VC yang terlibat dalam pendanaan. Justru lembaga non-profit, angel investor, dan accelerator maju duluan untuk menutup gap tersebut. Hingga per kuartal ketiga 2020, DailySocial mencatat hanya dua startup lingkungan yang mendapat pendanaan, yakni Xurya dan Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE) yang menaungi produk Warung Energi.
Announcement Date | Startup | Stage | Category | Investors/Accelerators |
2016 | SMASH (Sistem Manajemen Online Sampah) | Unknown | Waste Management | Generasi IT Kreatif (Genetik) |
2017 | MallSampah | Unknown | Waste Management | Angel Investor |
2018 | Xurya | Seed | Renewable Energy | East Ventures, Agaeti Ventures Capital (currently ASC) |
Evoware | Grant | Biodegradable Solutions | DBS Foundation | |
Magalarva | Unknown | Waste Management | SKALA | |
2019 | Waste4Change | Unknown | Waste Management | East Ventures, Agaeti Ventures Capital (currently ASC) |
Gringgo | GrantPre-Seed Round | Waste Management | GoogleGoogle Launchpad Accelerator | |
Weston Solar Energy | Unknown | Renewable Energy | NYALA Energy Accelerator | |
Replus | Unknown | Renewable Energy | NYALA Energy Accelerator | |
TAZ Indonesia | Unknown | Renewable Energy | NYALA Energy Accelerator | |
After Oil | Unknown | Renewable Energy | NYALA Energy Accelerator | |
2020 | Xurya | Seed Round | Renewable Energy | Clime Capital |
Bina Lintas Usaha Ekonomi (Warung Energi) | Seed | Renewable Energy | New Energy Nexus |
Sumber: Dari berbagai referensi / DailySocial
New Energy Nexus merupakan satu dari sekian perusahaan yang fokus pada pendanaan startup lingkungan. Bahkan lembaga non-profit ini beberapa bulan lalu meluncurkan program “Indonesia 1 Fund” yang membidik startup energi terbarukan di Indonesia dari tahap seed hingga seri A.
Indonesia 1 Fund akan difokuskan untuk sepuluh area utama, antara lain renewable energy, smart grid, energy efficiency, energy management, customer experience, e-mobility, business model innovation, Internet of Things (IoT) & digitization, serta energy access & energy storage.
"Kami berupaya menjembatani gap investasi, terutama di early stage karena investor saling menunggu siapa yang akan mengambil langkah pertama. Padahal, sama seperti early stage investment di kategori lainnya, yang membedakan kesuksesan dan perjalanan bisnis setiap perusahaan adalah kemampuan eksekusi dan pemahaman pasar dari tim tersebut,” ungkapnya.
Malahan, menurutnya situasi pandemi menjadi momentum bagi setiap orang untuk berpikir tentang inovasi dan alternatif dari bisnis. Dengan situasi ini, ia melihat semakin banyak pihak memahami dan meyakini potensi ekonomi dari energi terbarukan. “Investasi ini dapat membantu mempercepat transisi Indonesia ke sistem ekonomi berbasis energi terbarukan,” tuturnya.
Model bisnisnya sulit di-scale up
Ada alasan mengapa teknologi menjadi kunci utama bagi startup dalam mengembangkan produk. Traveloka dan Gojek menjadi kasus sukses di mana teknologi berhasil mendorong traksi layanan secara signifikan.
Berdasarkan pengalamannya berinvestasi di Asia Tenggara, Partner Patamar Capital Dondi Hananto mengatakan bahwa masuk ke bisnis yang melibatkan teknologi dapat mendorong scalability lebih cepat. Ini mengapa pihaknya belum tertarik berinvestasi ke startup yang fokus pada environmental impact.
“Sebetulnya tidak harus [mengembangkan produk] fully tech, tetapi setidaknya ada tech enablement karena most of our business challenge terbanyak ada di operasional bukan teknologi,” jelasnya kepada DailySocial beberapa waktu lalu.
Menurutnya, jika ingin masuk ke sini, startup perlu melakukan blended-finance yang modalnya tidak hanya datang dari investor. Artinya perlu ada kolaborasi dengan yayasan, program CSR, atau pemberian dana sosial.
Sementara, menurut Ekonom INDEF Bhima Yudhistira, ada beberapa faktor mengapa investasi startup di bidang lingkungan terkendala. Pertama, kesadaran konsumen atau pasar di Indonesia terkait kepedulian lingkungan hidup masih rendah.
Untuk penerapan energi terbarukan saja, ia mencontohkan, porsinya dalam bauran energi primer nasional masih di bawah 15%. Sebanyak 37,5% dari batubara dan 33% minyak bumi alias dominan fosil. "Ini menandakan komitmen pemerintah sendiri masih rendah terhadap energi ramah lingkungan," tuturnya dalam pesan singkat kepada DailySocial.
Kedua, ia menilai ekosistem pembiayaan ramah lingkungan di dalam negeri belum berkembang. Meskipun ada pembiayaan ramah linkungan atau green banking, faktanya penyaluran kredit sebagian besar masih lari ke sektor pertambangan dan perkebunan sawit.
Belanja modal besar, komersialisasi produk lama
Senior Investment Analyst di Kolibra Capital William Auwines mencoba mengelaborasi beberapa hal krusial dalam menanggapi fenomena ini. Pertama, startup lingkungan umumnya membutuhkan periode waktu yang panjang, baik dari SDM maupun proses R&D.
Di periode waktu tersebut, mereka masih berupaya mencari dampak positif yang ingin dihasilkan. Karena masalah waktu, ini justru menunda proses komersialisasi produk dan bakal berisiko terhadap investasi.
Kedua, pengembangan produknya membutuhkan belanja modal (capex) yang besar. Ambil contoh, produk berbasis energi. Solusi semacam ini dinilai membutuhkan belanja modal (capex) besar. Startup energi biasanya punya kapasitas spesifik dan pengeluaran yang pasti. Ini dibandingkan dengan perusahaan tradisional.
"Ini kurang cocok bagi nature VC yang umumnya membidik startup teknologi yang lebih bisa di-scale up. Sejujurnya, kami banyak didekati oleh sejumlah startup yang mencoba mengembangkan produk ramah lingkungan, seperti power plant atau plastic recycling plants," ujarnya kepada DailySocial.
Tak dimungkiri bahwa investasi sebuah bisnis tidak 100 persen sempurna. Artinya, jika sebuah produk memiliki dampak sosial yang luas, pasti akan ada satu hal yang perlu dikorbankan. Misalnya, biaya lebih besar atau kualitas buruk.
Ia mencontohkan bagaimana startup lingkungan di luar negeri berhasil mengantongi pendanaan besar untuk mengurangi limbah makanan, yakni Too Good to Go dan Karma dari Eropa. Mereka mampu menyempurnakan formula agar bisa menguntungkan dengan tetap fokus pada dampak sosial.
Startup | Category | Origin | Series/Amount |
Too Good to Go | Food Recycling | Denmark | Unknown/$21 million |
Karma | Food Recycling | Sweden | Series A/$18 million |
Impossible Foods | Plant-based Substitutes | USA | Series G/$1,5 billion |
Choose Energy | Marketplace for Clean Technology and Services | USA | Series C/$25,7 million |
Sumber: Dari berbagai referensi / DailySocial
Hingga saat ini, ia mengakui belum menemukan startup di bidang lingkungan di Indonesia yang mampu mengukur dan mempertahankan metrik keuangan. "Begitu startup semacam ini muncul, kami pasti akan tertarik," ujar William.
Pada akhirnya, sulit bagi perusahaan greentech untuk menonjol karena sejumlah faktor di atas. Karena VC adalah platform untuk investasi alternatif, yang didukung oleh investor yang mencari keuntungan, metrik keuangan akan menjadi salah satu prioritas utama.
"Kami menuju ke sana karena kami melihat produk ramah lingkungan, solusi pengelolaan limbah, perangkat energi terbarukan semakin lebih baik. VC tidak perlu sepenuhnya menghindari kategori ini meski risikonya besar. Ini masa depan dan ada banyak peluang besar, tapi masalahnya ada pada waktu," paparnya.
Sign up for our
newsletter