Startup Budidaya Unggas “Chickin” Terima Pendanaan Tahap Awal Dipimpin East Ventures
Chickin sedang persiapkan putaran seri A dengan nominal berkali-kali lipat
Startup agritech budidaya unggas Chickin menerima pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dipimpin oleh East Ventures. Kabar ini langsung dikonfirmasi oleh petinggi Chickin saat dihubungi DailySocial.id.
Dalam informasi yang kami dapat, selain East Ventures dalam putaran tersebut juga terdapat investor lain, seperti 500 Startups dan GK-Plug and Play.
Pada saat yang bersamaan, petinggi Chickin juga menyampaikan pihaknya sedang menggalang putaran seri A bernilai berkali-lipat dari yang diperoleh saat ini. Rencananya proses tersebut bakal rampung pada kuartal ketiga tahun ini.
Menurut perusahaan, dana segar ini akan dimanfaatkan untuk mempercepat misi Chickin meningkatkan ketahanan pangan Indonesia dengan meningkatkan kinerja pertumbuhan, manusia, teknologi, akuisisi mitra, pemberdayaan petani untuk menghasilkan produksi dalam jumlah dan kualitas yang maksimal.
Sebelumnya startup budidaya ternak Pitik juga telah membukukan pendanaan seri A $14 juta. Inovasi mereka turut membantu peternak unggas untuk memaksimalkan produktivitasnya.
Solusi yang ditawarkan Chickin
Chickin didirikan pada 2018 di Klaten, Jawa Tengah oleh tiga kawan, yakni Ashab Al Kahfi, Tubagus Syailendra, dan Ahmad Syaifulloh yang sebelumnya adalah peternak unggas. Dari pengalaman yang dirasakan sebagai pembudidaya, data adalah isu terpenting untuk mengatasi permasalahan di lapangan.
Pemanfaatan data yang akurat dapat membantu evaluasi demi mencegah kegagalan panen dan bisa memprediksi kira-kira hasil panen bisa dihasilkan untuk apa. Terlebih itu, adopsi teknologi sangat penting bagi peternak karena burung itu sangat rentan terhadap risiko penyakit. “Forecasting di supply chain dapat membantu proses matchmaking antara supply dan demand,” ucap Tubagus dalam wawancara bersama DailySocial.id beberapa waktu lalu.
Isu lainnya yang turut menjadi perhatian adalah indeks konsumsi daging protein hewani yang masih kalah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Menurut OECD-FAO, konsumsi daging ayam dan daging sapi oleh masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga. Konsumsi per kapita daging ayam baru menyentuh 11,6 kilogram, sedang daging sapi lebih rendah, yaitu 2,7 kilogram.
Dalam menjawab kebutuhan tersebut, Chickin menawarkan perangkat IoT dan SaaS untuk mengumpulkan data dan matchmaking data apa yang ada di dalam kandang untuk kebutuhan bisnis B2B. Dengan teknologi digitalnya, Chickin menawarkan solusi untuk peternak unggas di Indonesia tentang cara mengurangi kesalahan manusia, limbah pakan, dan biaya listrik. Solusi membantu mereka berubah dari manajemen tradisional hingga manajemen berbasis digital.
Chickin menyediakan solusi sistem manajemen perkandangan cerdas terintegrasi berbasis IoT melalui Chickin App – Micro Climate Controller (MCC) dan Chickin Smart Farm yang diharapkan dapat menekan angka FCR sehingga berdampak pada efisiensi pakan yang semakin baik. Dengan manajemen perkandangan berbasis IoT dan AI support, mereka memudahkan para peternak melakukan budidaya secara optimal, produktif, dan efisien.
Untuk model bisnisnya, Chickin menyediakan suplai daging ayam berkualitas ke konsumen B2B (Chickin Fresh). Ibaratnya seperti e-commerce B2B untuk daging ayam saja, seperti Aruna yang menjadi B2B untuk ikan. Kemudian, monetisasi terjadi di sektor hilirnya. Para mitra bisnis Chickin datang dari beragam vertikal, ada e-grocery, ritel, kuliner, korporasi, hingga jaringan waralaba.
More Coverage:
Menurut data terbaru yang dibagikan perusahaan, diklaim perusahaan telah mengakuisisi ribuan peternak dan lebih dari 150 lokasi peternakan dengan kapasitas populasi lebih dari 2,6 juta ayam. Chickin juga telah dipercaya oleh lebih dari 200 klien yang terdiri dari brand F&B terkemuka, katering, dan juga food processing. Kinerja yang kinclong ini terefleksi langsung dengan pendapatan yang diklaim tumbuh 50 kali lipat dalam setahun terakhir.
Tubagus juga menyampaikan ambisi Chickin ke depannya untuk membidik pertumbuhan dari bisnis vertikal, lewat akuisisi dari hulu ke hilir. Kemudian, masuk ke downstream dengan menguasai demand agregasi ayam. Selanjutnya masuk ke midstream (rumah potong), ke upstream (kandang ayam).
“Tujuannya agar kami bisa supply farm input, seperti pakan dan bisnis, sembari masuk ke sektor horizonal di luar ayam. Sebab kami rencananya mau leading meat e-commerce B2B di Indonesia,” pungkasnya.
Sign up for our
newsletter