Tantangan dan Peluang Pertumbuhan "Green Startup" di Indonesia
Serupa dengan tren global, segmen startup lingkungan di Indonesia masih didominasi bisnis kendaraan listrik
Salah satu alasan lambannya pertumbuhan dan penetrasi layanan green startup adalah belum berkembangnya ekosistem yang ada. Kendati demikian menurut Co-founder & CEO Ecoxyztem Jonathan Davy, meskipun masih sedikit jumlah para penggiat startup lokal yang mencoba untuk memberikan solusi seputar renewable energy, efficiency energy, hingga waste management, di perkirakan dalam beberapa tahun ke depan jumlahnya akan mengalami peningkatan.
Membangun ekosistem
Ada beberapa catatan menarik yang dibagikan Jonathan, berdasarkan pengalamannya terjun langsung ke sektor lingkungan. Mulai dari latar belakangan pendiri startup yang harus benar-benar memahami solusi dan permasalahan yang ada, hingga potensi menggarap segmen B2B yang lebih menguntungkan.
Hal tersebut menjadi langkah yang tepat dilakukan, dilihat dari pasar yang jauh lebih terukur dibandingkan dengan B2C. Dibutuhkan adopsi yang masif hingga affordability ketika startup yang fokus kepada climate tech mengawali bisnisnya ke B2C. Selain B2B, potensi yang kemudian juga bisa digarap adalah turut menyasar kepada B2G.
Serupa dengan tren global, saat ini kebanyakan penggiat startup yang menghadirkan produk atau layanan untuk mendukung perubahan iklim di antaranya adalah energy efficiency, renewable energy, waste management dan electric vehicle (EV), serta layanan dan teknologi pendukungnya yaitu charging station.
DailySocial.id mencatat beberapa tahun terakhir, perusahaan teknologi dan energi hingga pemodal ventura ramai-ramai menggarap proyek kendaraan listrik. Hal ini untuk mendukung upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi kendaraan listrik di Asia Tenggara dengan target produksi 600 ribu mobil listrik dan 2,5 juta sepeda motor listrik pada 2030.
"Serupa dengan tren global, mobility dalam hal ini adalah EV memang paling besar mendapatkan pendanaan. Hal tersebut terjadi karena teknologi EV yang paling mature saat ini. Namun layanan dan produk lainnya saat ini juga sudah mulai menyusul, seperti ekonomi sirkular hingga renewable energy dan energy efficiency," kata Jonathan.
Tantangan menemukan talenta
Jika dilihat dari latar belakang para pendiri startup yang menghadirkan layanan climate tech, kebanyakan dari mereka memahami benar permasalahan lingkungan dan hal terkait lainnya. Hal tersebut menurut Jonathan yang membedakan pendiri green startup dengan pendiri startup di segmen lain.
Pendiri Surplus misalnya, Muhammad Agung Saputra, selain merupakan lulusan ITB, ia juga merupakan lulusan dari Imperial College London dengan fokus pendidikan kepada Environmental Economics, Environmental Law, Environmental Pollution & Control, Environmental Policy.
Kini Surplus terbilang salah satu startup yang terus mengalami pertumbuhan menghadirkan prevention food waste management untuk industri hospitality dan F&B di Indonesia. Sementara itu salah satu Co-founder Powerbrain Irvan Farasatha, selain merupakan lulusan ITB, ia juga merupakan lulusan Master of Science - MS, Energy Engineering Politecnico di Milano.
"Kita sudah melakukan riset hampir ke 100 ecopreneur di Indonesia, dan tantangan utama saat ini ada tiga. Yang pertama adalah soal skillset dan akses talenta. Jadi memang kebanyakan mereka adalah master atau para PHD di bidangnya," kata Jonathan.
Faktor kedua yang juga masih menjadi tantangan adalah risk capital. Meskipun ada beberapa dana segar yang mengalir saat ini, namun kebanyakan investasi tersebut hanya fokus kepada pendanaan tahapan lanjutan. Sehingga masih banyak dibutuhkan investor yang bisa membantu mereka untuk mendapatkan dana segar di tahap awal hingga melalui semua proses yang ada. Tantangan terkahir adalah, navigasi untuk ke pasar dan regulator barrier.
Dari sisi regulasi pun saat ini masih terbilang abu-abu. Artinya pemerintah melalui Kementrian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga Bappenas, belum memberikan sebuah aturan kepada green startup di tanah air.
Namun demikian dari sisi growth model, belum banyak di antara pendiri startup climate tech tersebut menemukan formula yang tepat. Hanya sebagian dari mereka yang kemudian berhasil melakukan uji coba langsung ke pasar, dan menemukan model bisnis yang tepat dan tentunya menguntungkan.
Dari sisi investasi, meskipun tergolong masih sangat niche, namun diprediksikan dalam waktu beberapa tahun ke depan akan semakin banyak investor lokal yang tertarik untuk berinvestasi kepada startup climate tech. Meskipun saat ini sebagian besar investor asing yang masih mendominasi investasi kepada para ecopreneur.
Yang perlu ditekankan adalah, jangan hanya fokus kepada geografi saja, tapi juga ticket size yang diberikan. Saat ini sudah mulai banyak investor lokal yang tertarik untuk berinvestasi kepada green startup.
"Berdasarkan beberapa laporan yang kami lihat, investasi venture capital untuk startup yang menyasar climate tech masih sedikit jumlahnya. Namun ke depannya walaupun sedang tech winter, kita masih melihat pertumbuhan di investasi akan naik sekitar $40 miliar," kata Jonathan.
Fokus Ecoxyztem
Sebagai venture builder yang peduli benar dengan pertumbuhan ecopreneur di Indonesia, Ecoxyztem menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas, bantuan berupa venture architects untuk pemodelan bisnis, dan mendukung penetrasi pasar dengan business matchmaking, serta penggalangan modal. Bukan hanya bantuan modal, namun juga jaringan yang relevan hingga peluang untuk mendapatkan investasi dari green fund dan lembaga asing lainnya.
More Coverage:
Sebagai latar belakang, Ecoxyztem yang merupakan bagian dari Greeneration Group ini memutuskan ubah model bisnis menjadi venture builder pada 17 Mei 2021. Kata XYZ melambangkan pilar bisnis Ecoxyztem, X dari kata X-Seed yakni pengembangan sumber daya manusia, Y dari kata Ympact Lab untuk pengembangan climate-tech startup, dan Z dari kata Zinergy untuk mengembangkan akses ke pasar.
Saat ini Ecoxyztem telah memiliki empat portofolio startup, yakni Waste4Change di bidang pengelolaan sampah, ReservoAir yang mengatasi masalah banjir, Ravelware yang menggerakkan transisi industri hijau, dan Enertec yang bekerja di sektor efisiensi energi.
Baru-baru ini Waste4Change mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $5 juta (lebih dari 76 miliar Rupiah). AC Ventures dan PT Barito Mitra Investama menjadi lead dalam putaran ini, diikuti jajaran investor lain, yakni Basra Corporation, Paloma Capital, PT Delapan Satu Investa, Living Lab Ventures, SMDV, dan Urban Gateway Fund.
"Kita melirik startup yang masih bootstraping atau mereka yang masih dalam tahapan awal. Karena tujuan kita bukan mencari keuntungan saja, namun lebih kepada ingin membawa ekosistem climate tech lebih maju di Indonesia," kata Jonathan.
Sign up for our
newsletter