Pendekatan Bisnis Startup Quick Commerce "Bananas" di Tengah Pergeseran Konsumen Pasca-Pandemi
Belajar dari Co-founder dan CEO Bananas Mario Gaw dalam sesi #SelasaStartup
Banyaknya pemain quick commerce di global yang gulung tikar, menimbulkan kecemasan apakah model bisnis ini hanya bisa beroperasi saat pandemi saja atau sudah saatnya hadir. Lantas, timbul pertanyaan apakah pemain quick commerce di Indonesia akan bernasib sama?
Untuk menjawab itu, #SelasaStartup kali ini mengundang Co-founder dan CEO Bananas Mario Gaw.
Mario banyak bercerita seperti apa optimisme Bananas terhadap potensi quick commerce dan seperti apa posisinya di pasar. Sebagai catatan, Bananas adalah salah satu pemain quick commerce lokal yang baru beroperasi pada awal tahun ini.
Segmentasi Bananas
Mario menjelaskan, seperti kebanyakan pemain quick commerce lainnya, Bananas membangun dark store (mini gudang) yang tersebar di pemukiman padat di Jakarta. Sejauh ini ada delapan dark store dan satu pusat distribusi untuk membantu inventaris barang.
Namun yang menjadi diferensiasi layanannya, mereka melayani konsumen middle to high. Kalangan ini punya gaya hidup sibuk, seperti profesional dan orang tua karier yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Segmentasi tersebut diambil berkat wawancara mendalam yang dilakukan oleh tim Bananas dalam proses product-market-fit.
Produk yang dijual kini mencapai 2 ribu SKU berasal dari beragam kategori, terutama di produk segar seperti telur, susu, daging, sayur, dan buah-buahan. Kemudian makanan dan minuman ringan hingga alat-alat kebersihan rumah. Seluruh produk ini dikirim dalam waktu beberapa menit sampai di lokasi pembeli.
Dengan mengambil segmentasi ini, ia merasa optimistis bahwa Bananas hadir bukan sekadar lihat tren terkini saja. Kalangan konsumen seperti ini, sambungnya, bukan tipikal yang oportunis yang harus perlu dipancing dengan diskon atau cashback.
“Kami melihat segmen ini masih sangat baru, mereka malas menghabiskan waktu di jalan, belum lagi harus antre di supermarket dan angkut belanjaannya yang berat itu. Angle kami adalah mengincar mereka, bukan yang harus dipancing dengan promo,” kata Mario.
Meski begitu, meminta pendapat dari konsumen secara berkala tetap harus dilakukan perusahaan agar Bananas menjadi perusahaan berkelanjutan. Saat ini, perusahaan mulai memikirkan bagaimana cara meningkatkan rata-rata nilai belanjaan dan meningkatkan GMV.
“Yang sekarang jadi penting bagaimana caranya kita tetap fokus pada user. Caranya dengan terus berbicara dengan mereka agar mengerti apa yang saat ini dibutuhkan dan bagaimana keinginan ke depannya. Sebab saya percaya kebutuhan groceries itu enggak akan hilang, tapi apakah dulu beli merek mahal atau tidak, itu hanya soal shifting. Sebagai pemain, kita harus bisa menangkap dan mengikuti kebutuhan mereka.”
Hal ini sekaligus bentuk tip dari Mario untuk para founder yang baru merintis startupnya. Bagi dia, kesalahan terbesar yang ia lakukan sebelum-sebelumnya adalah kurang mendengarkan konsumen. Hanya mengandalkan asumsi dari riset, tanpa melihat kondisi langsung di lapangan.
“Dengan banyak mendengarkan konsumen, kita jadi lebih ngerti pain point mereka sehingga kita bisa dapat insight yang lebih real daripada hanya sekadar teori saja.”
Tantangan di quick commerce
Mario pun mengakui bahwa tantangan di quick commerce ini begitu besar. Ada yang menyebutkan bahwa model bisnis ini menyatukan seluruh kerumitan dalam operasionalnya, harus bangun dark store, mengurus inventaris, sourcing barang di lokasi mana yang laku mana tidak, itu bagian sulit.
“Jadi semua fungsi dan lini itu susah. Pun juga dari marketing untuk akuisisi user di Pondok Indah dan Kelapa Gading mungkin lebih mudah bikin event di mall. Tapi belum tentu di lokasi lain sama karena beda gaya hidup dan kebiasaan.”
Di tambah lagi, dengan kenaikan harga BBM, otomatis membuat Bananas harus putar otak untuk tetap menekan pengeluaran di tengah perang bisnis ritel yang marginnya terkenal tipis. Solusi yang kini tengah diusahakan adalah mengembangkan algoritma agar sistem pengantaran dapat dilakukan dalam satu batch untuk satu kendaraan sekali jalan untuk satu area.
More Coverage:
“Dalam tiap pengantaran per batch-nya, pengemudi bisa antar ke banyak titik untuk satu area. Dari situ kami bisa tekan cost logistik.”
Kendati banyak pemain online grocery yang masuk ke solusi quick commerce, Mario tidak mengkhawatirkan kompetisi yang sengit. Di industri ini, ia percaya “winner takes all” tidak berlaku. Khususnya, bagi quick commerce yang masih sangat baru di Indonesia, edukasi adalah barang mahal yang bila dilakukan sendiri tidak akan cukup waktu. Makanya dibutuhkan pemain online grocery lainnya, untuk melakukan inisiatif serupa bersama-sama.
“Dari sisi kompetisi, walau ide sama, tapi karena bahan-bahan di dalam perusahaan beda, hasil masakannya juga beda. Filosofi kami adalah tetap monitor pergerakan industri, tapi tidak jadi sesuatu yang ditakuti. Jadi kami saling beradu menyelesaikan user, mana yang lebih baik,” tutupnya.