Potensi 92 Juta Pelanggan yang Ingin Dijaring Lewat Program Kemitraan
Mitra Shopee jadi program terbaru yang dilancarkan untuk hadirkan model bisnis O2O
Platform marketplace Shopee akhirnya turut terjun meramaikan model bisnis online-to-offline (O2O) di Indonesia dengan merilis Mitra Shopee. Program serupa sebelumnya sudah dijalankan terlebih dulu oleh dua kompetitornya, melalui Mitra Bukalapak dan Mitra Tokopedia. Kelebihannya, Shopee telah miliki platform digital wallet-nya sendiri, ShopeePay.
Ditinjau dari fitur, ketiganya miliki cakupan yang nyaris serupa. Aplikasi dikembangkan untuk mengajak pemilik bisnis mikro –dengan warung sebagai sasaran utamanya—menjualkan beragam produk digital seperti voucher PPOB dan menjadikan e-commerce terkait sebagai kanal pemasok barang dagangan.
Layanan pembayaran digital (digital wallet) yang diterima baik oleh pengguna turut memacu penetrasi program kemitraan tersebut. Karena memungkinkan setiap transaksi –misalnya pembelian token PLN—dilakukan secara lebih cepat, sehingga memberikan pengalaman yang cukup baik bagi pelanggan bisnis mitra-mitranya.
Meluncur paling di antara platform marketplace lain, Bukalapak mengklaim telah miliki sekitar 1 juta mitra yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia, sampai di daerah tier-3. Sementara menurut AVP of New Retail Tokopedia Adi Putra, menutup tahun 2019 program Mitra Tokopedia sudah diikuti sekitar 400 ribu pebisnis mikro. Belum ada data untuk inisiatif milik Shopee karena masih tergolong baru.
Apa yang dicari dari program kemitraan?
Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services yang dilakukan Google, Temasek dan Bain & Company, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial atau perbankan (unbankable). Jumlah tersebut tentu sangat besar, lebih besar dari total penduduk negara-negara lain di Asia Tenggara kecuali Filipina.
Kalangan unbankable tersebut sebagian besar diasumsikan sebagai orang-orang yang tidak pernah mengakses platform jual beli online, karena pada dasarnya minimal pengguna harus memiliki akun bank untuk bisa bertransaksi di sana. Tujuan program kemitraan adalah mendistribusikan agen-agen penjualan offline yang tersebar di berbagai wilayah untuk menjadi perantara, memberikan kemudahan kepada unbankable agar mudah mendapatkan produk-produk e-commerce.
Skenario lainnya, agen tersebut dijadikan poin distribusi untuk pengiriman barang. Beberapa wilayah, khususnya di daerah pelosok, sulit dijangkau oleh layanan logistik. Beragam layanan pembayaran memungkinkan bisnis mikro yang dikelola agen menawarkan varian produk yang lebih lengkap dengan harga kulak yang relatif lebih murah.
Jadi ada tiga hal yang sebenarnya didapat oleh bisnis e-commerce dari program ini. Pertama, membantu distribusi produk dengan menjangkau populasi unbankable. Kedua, membantu perluasan pemasaran produk atau brand dengan menghadirkan representasi di daerah. Dan yang ketiga, membuka peluang rantai distribusi yang lebih efektif.
Berebut pasar dengan pebisnis digital lain?
Jelas 92 juta bukan angka yang kecil, bahkan itu adalah potensi pasar yang sangat besar mengingat jumlah tersebut datang dari kalangan usia produktif. Sayangnya peluang itu tidak hanya dipersaingkan oleh tiga unicorne-commerce saja, ada banyak pebisnis digital lain yang kini serius garap basar O2O di Indonesia.
Payfazz saat ini sudah miliki 450 ribu orang agen. Aplikasi keuangan tersebut memudahkan pemilik UKM menawarkan berbagai produk keuangan, termasuk untuk PPOB, pembayaran tagihan, transfer dana, tarik tunai, hingga pembayaran kredit. Kontribusi PPOB saja setiap bulannya hampir menyentuh Rp1 triliun. Menurut Co-Founder & CEO Hendra Kwik, PPOB jadi layanan yang berkontribusi besar, setiap bulannya hampir sentuh nilai transaksi Rp1 triliun.
Selain itu masih ada GrabKios by Kudo, Netzme, Paytren dan banyak platform lain di luar ekosistem e-commerce yang tawarkan konsep serupa. Belum lagi kini aplikasi digital wallet populer untuk kalangan konsumer juga sudah sajikan fitur lengkap pembayaran lengkap – kendati beberapa terintegrasi dengan e-commerce, seperti Dana di Bukalapak dan Ovo di Tokopedia.
Persaingan memperebutkan agen pun sudah mulai terasa, dengan strategi kompetisi bisnis digital yang sering ada: perang harga. Jadi, siapa kuat dia akan menang?
More Coverage:
Dengan perkembangan teknologi dan perluasan konektivitas, bisa dibilang keberhasilan O2O sangat bergantung pada pengalaman konsumen yang dijajakan. Ketidaknyamanan, keterlambatan atau isu-isu teknis bisa jadi menyebabkan penurunan minat terhadap layanan terkait di tengah persaingan kuat antarplatform.
Konsep O2O sebenarnya lebih luas dari sekadar kemitraan. Brand produk dunia juga banyak yang mengadaptasi pendekatan ini. Kendati pada faktanya menurut statistik, 91% brand sempat gagal menghadirkan menghadirkan pengalaman digital di toko ritel mereka.
Dari studi kasus kesuksesan para retailer seperti Amazon atau Alibaba dalam mengaplikasikan O2O, ada beberapa poin yang menjadi kunci bisnis. Pertama, pastikan inisiatif O2O memudahkan akitvasi online terjadi secara offline. Kedua, mengedepankan personalisasi pengalaman pelanggan. Dan ketiga, selalu manfaatkan perkembangan teknologi. Beberapa brand kini manfaatkan AR/VR untuk membantu meningkatkan visualisasi produk.