Social Commerce akan Jadi Sorotan di Pembaruan Aturan E-commerce Kemendag
Social commerce akan diatur sebagai Pelaku Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE); transaksi di dalamnya turut dikenakan pajak
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengungkap empat poin utama pada revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Beberapa di antaranya akan mengatur perihal transaksi di platform social commerce dan larangan e-commerce menjadi produsen.
Hal ini disampaikan Zulhas di Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada Selasa (1/8). "Kebijakan terbaru tersebut tengah dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sejak 1 Agustus 2023. [Revisi] Permendag No. 50/2020 itu justru dari awal kita ambil inisiatif, tetapi pembahasannya antarkementerian," ucapnya diberitakan oleh Bisnis.com.
Perlu diketahui, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 memuat Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Revisi ini dilakukan salah satunya untuk melindungi pelaku UMKM dalam negeri.
Berikut keempat poin utama revisinya:
- Larangan e-commerce jadi produsen. Pemerintah akan melarang Pelaku Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), baik e-commerce maupun social commerce, untuk menjual produk sendiri atau sebagai wholesaler. Zulhas menilai aturan ini akan menciptakan keadilan dan kompetisi pasar yang sehat bagi pelaku UMKM.
- Kebijakan social commerce. Tren transaksi belanja online melalui platform media sosial mendorong pemerintah untuk memasukkannya sebagai salah satu PMSE. Nantinya, aturan baru ini akan memuat definisi mengenai social commerce. Adapun, platform social commerce yang dimaksud, misalnya TikTok Shop, Instagram, dan Facebook Marketplace.
- Pajak transaksi social commerce. Selain mendefinisikan social commerce, pemerintah juga akan mengenakan pajak pada setiap transaksi di platform ini. Pemberlakuan pajak dipicu oleh banyaknya produk yang dijual sangat murah di platform seperti TikTok, dan produk-produk ini belum dikenakan pajak.
- Larangan jual produk impor murah. Terakhir, pemerintah akan melarang produk impor di bawah Rp1,5 juta per unit yang diperdagangkan dan dikirim langsung ke Indonesia oleh penjual dari luar negeri (cross border).
Perhatian pada social commerce
Menurut data yang dihimpun oleh Statista, gross merchandise value (GMV) yang dibukukan oleh bisnis social commerce di Indonesia pada 2023 akan mencapai $8,22 miliar. Diproyeksikan akan terus bertumbuh mencapai $22,13 miliar pada 2028 mendatang.
Peluang besar ini dilatarbelakangi penetrasi media sosial yang cukup besar di Indonesia. Ditambah para pengembang platform kini membubuhkan fitur jual-beli yang lebih terintegrasi (termasuk dengan sistem pembayaran dan logistik), sehingga memudahkan konsumen akhir dan merchant untuk bertransaksi.
Beleid baru ini juga hadir sesaat setelah ramai tentang Project S dari TikTok. Pada intinya, melalui proyek ini TikTok akan memaksimalkan platformnya untuk menjual barang-barang yang diproduksi (atau dikelola) sendiri kepada para penggunanya.
Alih-alih sebagai perantara, di sini TikTok akan bertindak menjual barang yang disuplai sendiri. Dianggap mengancam UMKM, karena dengan basis data yang dimiliki (dari data transaksi TikTok Shop), mereka bisa mendapatkan insight penting tentang tren dan kebutuhan pasar (untuk menunjang proses produksi). Sebagai informasi, sepanjang 2022 TikTok Shop berhasil mencatat transaksi $4,4 miliar, naik 4x lipat dari tahun sebelumnya.
Salah satu poin yang menjadi sorotan di aturan baru e-commerce adalah larangan pemilik platform untuk ikut berjualan. Pemilik platform di sini termasuk pengembang social commerce, online marketplace, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, termasuk TikTok atau perusahaan lain yang memfasilitasi kegiatan e-commerce dan social commerce, tidak boleh menjual barang produksinya sendiri. Memang belum ada detail yang disampaikan, sehingga belum tahu batasan-batasan seperti apa yang diberikan.
Selain social commerce, saat ini juga ada tren direct-to-consumer. Model bisnis ini membawa pengembang produk konsumer menjual langsung hasil produksinya melalui kanal digital—termasuk lewat kanal e-commerce yang dikembangkan sendiri.
Meski belum disampaikan secara mendalam, empat poin utama yang sudah disampaikan Mendag menunjukkan calon aturan baru ini memang dilandaskan untuk melindungi ekosistem UMKM di Indonesia.
Tren social commerce
Masyarakat Indonesia yang sangat terhubung dengan media sosial ikut mendorong tren belanja online melalui platform social commerce. Per Januari 2023, populasi pengguna media sosial di tanah air mencapai 167 juta orang atau mewakili 78% dari total pengguna internet yang mencapai 212,9 juta.
Tren social commerce sebetulnya telah dipopulerkan lewat platform Facebook dan Instagram. Namun, TikTok dilaporkan mulai memimpin tren social commerce karena menawarkan kemudahan untuk bertransaksi dalam satu aplikasi saja.
More Coverage:
Dalam laporan berbeda oleh Populix, TikTok Shop (45%) menjadi platform yang paling sering digunakan pengguna untuk belanja online, diikuti WhatsApp (21%), Facebook Shop (10%), dan Instagram Shop (10%).
*Randi Eka Yonida ikut terlibat dalam penulisan artikel ini