Artopologi Kawinkan Seni dan Blockchain untuk Utilisasi dan Keaslian Karya
Bincang eksklusif DailySocial.id dengan Founder dan CEO Artopologi Intan Wibisono
Nyatanya, kolaborasi antara seni dan teknologi telah lama dipraktikkan. Sejumlah kelompok seni di Indonesia bereksperimen kreasi dengan menggabungkan elemen new media art, sains, dan teknologi. Tak cuma perihal kreasi, teknologi juga mulai dimanfaatkan sebagai akses alternatif bagi pegiat dan penikmat karya seni.
Platform marketplace menjadi pendekatan yang paling memungkinkan untuk memperkenalkan karya seni rupa, tak hanya melalui galeri, pameran, atau art commission. Artopologi adalah salah satu platform serupa di Indonesia dengan mengadopsi teknologi blockchain sebagai nilai tambahnya.
- Artopologi didirikan oleh Intan Wibisono (CEO) pada 2022; seorang penikmat karya seni rupa yang sebelumnya berkarier lama sebagai praktisi komunikasi yang sempat bekerja di Bukalapak dan Edelman.
- Mengembangkan platform pasar seni rupa yang terkurasi dan terhubung dengan blockchain; memperjualbelikan produk lukisan, patung, dan instalasi seni yang disertai dengan sertifikasi digital.
- Memperoleh pendanaan pra-awal dari Ideosource dengan nominal yang tidak disebutkan pada Oktober 2022.
Dalam wawancara dengan DailySocial.id, Intan mengaku mulai menggali lebih dalam soal pemanfaatan dan potensi nilai blockchain dan produk turunannya ketika tengah booming saat pandemi. Proof of Concept (POC) pertamanya diperkenalkan di ajang Indo NFT Festiverse.
"Ternyata POC kami berhasil, kami dapat pelajaran-pelajaran baru. Lalu, kami mulai serius menggarap platform Artopologi, kami lakukan observasi dan testing juga," ucap Intan.
Blockchain dalam jejak karya dan keaslian
Dalam paparannya, Intan menilai bahwa karya seni rupa perlu akses ke pasar mainstream, di mana mungkin selama ini terbatas pada galeri atau pameran. Sementara, jumlah galeri yang ada belum mampu menangkap semua potensi. Berdasarkan laporan OPUS di 2020, subsektor seni rupa tercatat menyumbang PDB nasional sebesar Rp2,238 triliun pada 2017.
Selain itu, ia menyebut disrupsi di industri kesenian belum semasif sektor lain dan prosesnya pun cukup kompleks. Kompleksitas ini mengacu pada aspek logistik, terutama bicara soal distribusi penjualan karya seni rupa yang bentuknya beragam. Penanganannya berbeda dengan barang yang umum dijual di marketplace.
Dari pemetaan masalah ini, Artopologi berupaya memberi akses alternatif ke pasar yang lebih luas dan nilai tambah dengan blockchain untuk terlibat dalam jejak karya dan keaslian karya—tantangan lainnya yang sering terjadi di industri seni. "Kami mengombinasikan marketplace dan blockchain karena concern kami tidak cuma soal jual-beli karya, tetapi juga aspek jejak karya dan keaslian untuk melindungi seniman dalam jangka panjang."
Artopologi menggunakan jaringan blockchain Polygon di dalam platformnya. Untuk memperoleh sertifikat digital dari karya yang dibeli, pengguna harus memiliki crypto wallet terlebih dahulu.
Pengguna dapat mengeksplorasi berbagai bentuk karya seni rupa di platform ini, mulai dari lukisan, ilustrasi, patung, fotografi, hingga instalasi.
Proses kurasi dan penanganan produk
Ada tiga layanan pada platform Artopologi, yaitu penjualan karya seni rupa berbentuk fisik, penjualan karya seni rupa dengan sertifikat digital (blockchain-based), dan database untuk rekam jejak karya dan seniman. Segmen pasarnya adalah B2C (pembelian maupun sewa yang ditangani oleh art handler) dan B2B (menangani kebutuhan pemilik brand dengan melibatkan karya seni yang ditangani art advisor).
Intan menegaskan bahwa ia tidak membatasi karya seni yang ingin diperjualbelikan di platform Artopologi. Namun, ia menempatkan kurator dalam prosesnya sebagai verifikator. "Kami harus punya tanggung jawab untuk menjaga kredibilitas dan nilai dari karya seni yang ada di Artopologi. Makanya, kami memverifikasi rekam jejak dan portofolio seniman."
Salah satu karya fisik di Artopologi yang berbasis blockchain adalah instalasi seni dari limbah besi bernama ARTificial Ree. Instalasi ini dibuat oleh Yayasan Terumbu Rupa yang digagas oleh seniman Teguh Ostenrik; telah dibeli oleh sejumlah kolektor dan ditempatkan di laut Bali Utara.
Merefleksi penurunan industri Web3 di dunia, Intan mengaku situasi ini tidak begitu berdampak terhadap bisnisnya. Namun, bagi segmen retail, situasi tersebut bisa berdampak pada awareness dan menurunnya kepercayaan publik. Industri Web3 dituntut agar lebih rasional.
"Kami merilis [produk] sesuai kebutuhan pasar sehingga tahun ini kami akan banyak fokus pada revenue traction. Tujuan kami adalah bisa profitable dan scalable dalam jangka panjang. Apalagi, tahun lalu kami sempat banyak lakukan test pasar untuk capai product-market fit," tuturnya.
Intan juga belum mempertimbangkan untuk menggalang pendanaan baru. Targetnya saat ini adalah mengejar profitabilitas untuk membuktikan bahwa model bisnisnya dapat diperluas.
Sebelumnya, Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) memproyeksikan bahwa NFT akan memainkan peran penting terhadap pengembangan ekosistem industri kreatif, terutama di sektor seni. Sejumlah seniman, kreator, dan korporasi mulai memanfaatkan NFT untuk mengutilisasi dan momentiasi karyanya.
Berdasarkan laporan "Statista Digital Economy Compass 2022", terdapat 1,25 juta pengguna NFT di Indonesia, juga negara terbesar ke-8 di dunia. Di posisi pertama ada Thailand dengan 5,65 juta pengguna.
Sign up for our
newsletter