Pendiri 42Geeks Chok Ooi Bicara tentang Potensi Startup hingga Talenta Digital di Asia Tenggara
42Geeks adalah jaringan bisnis teknologi berisikan investor, pendiri unicorn, dan fasilitator ekosistem startup dari Silicon Valley
Jaringan teknologi global 42Geeks menyambangi Jakarta dalam rangkaian turnya ke Asia Tenggara pada 21-24 Februari 2024. Dalam acara lawatannya hari ini (22/2), 42Geeks menggandeng Startupindonesia.co untuk mempertemukan para founder startup Indonesia dengan investor global.
Sebagai informasi, 42Geeks adalah jaringan bisnis teknologi berisikan investor terkemuka, pendiri unicorn, dan fasilitator ekosistem startup dari Silicon Valley. 42Geeks awalnya bernama Geeks on Plane (GOAP) yang didirikan Dave McClure, investor Silicon Valley yang juga pendiri 500 Startups) pada 2008, lalu di-reboot pada 2022.
DailySocial.id berkesempatan berbincang singkat dengan Chok Ooi, Co-Founder 42Geeks yang juga Co-Founder Agility.io dan Kenzie Academy, untuk mengulik perspektifnya terkait ekosistem digital Indonesia.
Potensi ekosistem digital ASEAN
Chok menyoroti beberapa hal terkait potensi di industri digital Indonesia. Pertama, suplai talenta engineering adalah salah satu faktor kunci di ekosistem digital Asia Tenggara. Menurutnya, Indonesia masih kekurangan jumlah talenta teknologi, apalagi jika dibandingkan Vietnam yang populasinya justru jauh lebih kecil.
"Jumlah talenta di Indonesia masih kurang mungkin ada kaitannya dengan pendidikan. Sementara di Vietnam, sistem pendidikannya banyak fokus pada teknologi, sains, hingga matematika. Mereka menghasilkan banyak talenta, lalu diekspor untuk bekerja pada berbagai startup di dunia.'"
Ia berujar Indonesia punya potensi untuk berkembang sebagai salah satu pusat teknologi yang kuat, tetapi untuk mencapai ke sana, pelatihan maupun pendidikan untuk menghasilkan talenta teknologi juga perlu diperbanyak.
Kemudian, Chok mengungkap sektor yang tengah dieksplorasinya di Asia Tenggara, terutama teknologi yang bersifat jangka panjang. Beberapa di antaranya adalah AI, healthtech, dan climate tech, yang mana diyakini akan menjadi sektor besar di dunia.
"Transportasi bersih, kawasan industri bersih, juga efisien, adalah sektor yang sedang kami eksplorasi. Kami harap ASEAN bisa dorong perkembangan inovasi di sektor ini dalam satu dekade berikutnya."
Sebagai gambaran, sektor climate tech dan healthtech—juga biotech, tengah banyak dieksplorasi oleh pengembang inovasi, investor, hingga pemerintahan di Indonesia.
Startup sehat dengan valuasi masuk akal
Chok berbagi pandangannya terkait menurunnya iklim pendanaan startup di kawasan Asia Tenggara. Keringnya pendanaan di tengah gejolak pasar membuat investor makin berhati-hati dan selektif mengucurkan dana. Di sisi lain, gejolak pasar berdampak terhadap terkoreksinya valuasi sejumlah startup tahap akhir (late-stage), yang mana berlanjut dampaknya hingga startup tahap growth dan lanjutan (seri A, B, dan C).
Chok menilai situasi ini sangat sulit bagi para founder, tetapi hikmahnya valuasi menjadi turun ke angka yang masuk akal. Berbeda dengan tren investasi satu dekade silam yang membuat angka valuasi startup melambung tinggi. Di Indonesia, tantangannya justru ada pada banyak VC lokal yang mengalami dry powder karena valuasi berlebihan tersebut.
"Memang valuasi turun, tapi ini penting karena valuasi jadi lebih realistis. Saya harap ekosistem digital akan kembali tumbuh lebih baik dari situasi ini. Begitu [valuasi] terkoreksi, kita harusnya melihat banyak perusahaan yang sehat akan lahir. Dan startup tersebut, saya harap dalam 5-10 tahun ke depan akan menjadi unicorn terbesar atau perusahaan sukses selanjutnya."
Investasi ke generasi founder berikutnya
Sebagai Co-Founder di sejumlah perusahaan, Chok mengaku memahami betul situasi sulit yang dihadapi para founder startup dalam menavigasi bisnis sampai mencari pendanaan.
Ia berpesan, "Jangan terlalu memikirkan investment winter atau lainnya—saat orang mau mengeluarkan uang untuk menggunakan produk kita, ini baru a real company. Investasi akan datang sendirinya. Fokus saja bangun produk, founder harus punya mindset jangka panjang untuk bangun sesuatu yang mungkin belum ada saat ini, tapi ada di masa depan," ungkapnya.
Ia juga menyoroti bagaimana Silicon Valley sering kali disebut sebagai kiblat dunia teknologi. Padahal, label itu muncul karena hub berbasis di San Fransisco tersebut sudah 2-3 dekade lebih dulu dimulai. Alhasil, banyak generasi founder sukses dari sana usai exit dari startup yang mereka dirikan.
"Indonesia sudah menyaksikan founder generasi pertama yang sukses. Saya dengar [kesuksesan generasi selanjutnya] akan terjadi, dan saya harap tidak hanya [kesuksesan] bagi founder saja, tetapi karyawannya. Founder sukses harus mendukung generasi selanjutnya, lalu ke generasi berikutnya, begitu seterusnya, Ini akan jadi snowball effect, kalian akan lihat momentumnya sendiri. Begitu cara kalian membangun ekosistem yang sustainable."
More Coverage:
Hal ini pula yang menjadi alasan 42Geeks memboyong grupnya ke Asia Tenggara untuk mentransfer ilmu dan pengalaman dalam membangun bisnis. Menurut Chok, 42Geeks memiliki berbagai koneksi dan sumber daya yang dapat dipertemukan secara inklusif dengan ekosistem digital di Indonesia.
-
Disclosure: DailySocial.id merupakan media partner acara 42Geeks di Indonesia
Sign up for our
newsletter