Semangat Plepah Kurangi Konsumsi Plastik dengan Berdayakan Petani Lokal
Plepah sedang mencari alternatif bahan ramah lingkungan lainnya, seperti limbah kopi, gabah padi, jagung, dan batang sorgum
Dalam Pertemuan Tahuan Forum Ekonomi Dunia 2020, Indonesia mengumumkan rencana untuk mengatasi polusi plastik dengan menargetkan mengurangi sampah plastik laut hingga 70% dalam waktu lima tahun. Kemudian pada 2040, berencana untuk sepenuhnya bebas polusi plastik.
Indonesia berada di posisi dilema di tengah target tersebut karena negara ini adalah pencemar plastik kedua tertinggi di lautan setelah Tiongkok. Jumlah sampah plastik yang dihasilkan di Indonesia setiap tahun tumbuh pada tingkat yang tidak berkelanjutan. Biota laut Indonesia terancam tercemar, diestimasi pada 2025, jumlah sampah plastik yang bocor ke lautan kita dapat meningkat menjadi 800.000 ton – jika tidak ada tindakan yang diambil.
Adapun, sektor swasta memainkan peran penting dalam mengurangi atau mengganti penggunaan plastik, mendesain ulang produk dan kemasan plastik, menggandakan pengumpulan dan daur ulang sampah plastik, dan membangun atau memperluas fasilitas pembuangan sampah. Perhatian ini pulalah yang menarik Rengkuh Banyu (CEO) dan Almira Fikrani (COO) pada awal 2018 untuk mulai memikirkan apa yang bisa mereka lakukan untuk mengurangi sampah plastik.
Inspirasi awal datang saat mereka berdua mengikuti program pendampingan untuk memberikan edukasi dan pelatihan terkait ekonomi kreatif di daerah tertinggal. Hingga akhirnya, mereka sampai di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, menjadi titik awal bahwa masalah sampah ini harus diselesaikan segera, bukan sekadar mengajak saja. Hal inilah yang melandasi lahirnya Plepah.
“Masalah ini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dari situ, kami mencari cara bagaimana bisa kasih solusi yang sesuai dengan latar belakang kami, sebagai orang produk desainer, jadi kami mulai dari desain,” terang Rengkuh saat dihubungi DailySocial.id.
Proses perjalanan riset hingga Plepah resmi beroperasi, setidaknya butuh waktu hingga satu tahun. Rengkuh sampai harus studi banding ke negara berkembang lainnya dan negara maju, melihat bagaimana mereka mengelola limbah sampah.
Satu hal yang ditarik kesimpulan saat mengunjungi India adalah kesamaan kondisi dengan Indonesia. Selain densitas populasinya yang mirip, tingkat kepeduliannya terhadap pengelolaan limbah sampah juga rendah. Berangkat dari situ, tim melakukan riset potensi material limbah apa saja yang bisa dioptimalkan di Indonesia.
“Di sini kami melihat bahwa Indonesia itu kekurangan pengetahuan yang dalam untuk mengadakan riset. Ditambah ada pengaruh dari sisi adopsi teknologi yang terlambat, makanya inovasi di bidang pengelolaan limbah ini minim.”
Rengkuh akhirnya menemukan potensi yang tersimpan dari limbah pelepah pinang sebagai bahan dasar membuat produk alat makan ramah lingkungan. Selama ini, para petani melihat pelepah ini hanyalah limbah karena komoditasnya dari buah pohon pinang itu sendiri yang bisa dijual.
Sedangkan, pelepah pinang biasanya akan berakhir menjadi sampah-sampah hasil pembersihan kebun yang akhirnya dibakar. Tak jarang, bila kejadian ini dilakukan saat musim kemarau, bisa memicu kebakaran hutan yang risikonya jauh lebih besar bagi ekosistem hutan.
Hasil ini didapat setelah melakukan riset bersama dengan badan NGO dari Inggris, Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan ITB (LPIK-ITB), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Keinginan untuk melanjutkan riset ini akhirnya dilanjutkan dengan membuat pusat riset dan pengembangan sendiri setahun setelah Plepah resmi berdiri.
“Kita mau lebih serius buat divisi yang ada R&D internal untuk pengembangan material dan produk, juga untuk manufakturnya buat mesin-mesin yang bisa diimplementasikan seperti apa ruang produknya agar bisa mendekati suplai.”
Produk dan komunitas Plepah
Pelepah pinang yang alami dari petani dibentuk sedemikian rupa menjadi wadah makanan yang diolah dengan tepat, sehingga tahan panas, air, dan minyak, sehingga dapat menggantikan styrofoam. Sebagai catatan, styrofoam itu butuh waktu 5 abad untuk benar-benar terurai oleh tanah, sementara wadah pelepah hanya 60 hari.
Adapun berdasarkan riset yang dilakukan oleh komunitas Plepah, kontribusi sampah styrofoam ke laut Indonesia dari 18 kota selama Januari 2018 mencapai 0,27-0,59 ton. Angka tersebut bisa dipastikan terus meningkat untuk saat ini.
Plepah menggunakan dua pabrik. Satu pabrik untuk pra-produksi berlokasi di Desa Mendis, Sumatera Selatan dan satu pabrik di Cibinong, Bogor untuk proses finishing produk dan menjadi titik awal distribusi ke pasar. Sumatera Selatan dipilih karena di Sumatera sendiri memiliki komoditas pohon pinang seluas 150 ribu hektar. Rata-rata kebun pinang ini adalah milik masyarakat sekitar.
Satu hal yang ditekankan Plepah dalam proses pengumpulan suplai limbah adalah membentuk komunitas petani. Karena Rengkuh tidak ingin sekadar membawa peluang tambahan penghasilan saja untuk mereka, tapi juga bagaimana kesejahteraan, kemampuan, akses keuangan, dan lainnya bisa tersampaikan dengan baik setelah petani bergabung untuk menciptakan dampak.
Dalam visi jangka panjangnya, ia ingin menjadikan Plepah bukan sebagai produsen kemasan makanan ramah lingkungan, justru sebagai ekosistem sirkular yang holistik. Pada tahap awal, Rengkuh mengaku proses edukasi masyarakat di desa tidak bisa dilakukan sekali dua kali saja, tapi harus berkesinambungan. Mereka dulu melihat pelepah pinang ini sampah karena tidak ada nilainya.
“Bagaimana kami meyakinkan ini bisa menjadi komoditas, harus ada economic ecosystem-nya, sebab ini kan enggak ada satuan harga. Ini jadi benda asing buat mereka, sampai saat ini pun tim kami terus edukasi.”
Komunitas petani di Desa Mendis menjadi pusat suplai dikumpulkan hingga akhirnya diolah lebih lanjut di Cibinong. Dalam proses edukasi, tim Plepah juga mengedukasi masyarakat sekitar bagaimana mengelola sampah pelepah menjadi komoditas yang bernilai karena Plepah ingin menjadikan komunitasnya bagian penting dari perjalanan mengurangi sampah. Dari komunitas, ada yang anggotanya semakin serius hingga akhirnya membangun koperasi sendiri.
“Satu koperasi ini sudah memiliki lebih dari 60 kepala keluarga, sisanya masih dalam bentuk kelompok dengan jumlah sekitar 100 sampai 200 kepala keluarga. Mereka ada yang berada di Jambi dan Sumatera Selatan. Semua kelompok ini kami perlahan bangun tanpa ada disrupsi secara langsung, tapi pendekatan secara persuasif.”
Masing-masing kepala keluarga juga diarahkan memiliki tugas masing-masing. Para suami bertugas untuk mengambil limbah di kebun, sementara para istri bertugas di pabrik untuk memilah kualitas pelepah sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan. “Bahkan para ibu ini secara naluriah lebih ahli dalam proses kontrol kualitas melebihi SOP kami.”
Adapun untuk model bisnis Plepah didominasi oleh B2B dengan target pengguna adalah pengusaha kuliner dari berbagai skala usaha. Sejauh ini konsumen terbesar Plepah berlokasi di Jakarta dan Bali.
Rengkuh menjelaskan, ada tiga target usaha kuliner yang dibidik. Pertama, pengusaha early adopter yang belum memiliki cabang tapi punya perhatian khusus terhadap produk ramah lingkungan, entah produk yang mereka jual adalah vegan based, community based, atau plant based. Kedua, restoran multi-chain dengan cabang di mana-mana, dan terakhir, ekspor produk Plepah.
Negara pertama yang akan disasar adalah Jepang untuk merek makanan bernama Mos Burger. Rencananya ekspor akan dimulai pada Agustus mendatang. “Kami sedang mempersiapkan suplainya karena permintaannya cukup tinggi di sana. Kami mendapat dukungan dari Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk ekspor ke sana.”
Rencana berikutnya
Sebagai bagian dari startup impact, Plepah juga turut memerhatikan bagaimana peranannya dalam mengurangi jejak karbon di lingkungan. Dalam proses manufakturnya, Plepah berambisi akan mengimplementasikan skema decentralized manufacturing. Orientasi yang dipakai bukan terpusat produksi di satu titik, tapi perbanyak titik agar semakin mendekati suplai. Dengan demikian, pelepasan karbon di satu titik tidak terlalu tinggi.
“Kami sedang mendorong traceability untuk mengetahui siapa yang punya pohon, siapa yang punya petani, dari mana titiknya, dan sebagainya. Data-data ini akan kami kumpulkan dan jadi indikator carbon footprint.”
More Coverage:
Rengkuh memastikan pihaknya akan terus berinovasi mencari alternatif energi hemat daya dan proses logistik yang paling efisien. Produksi Plepah tergolong ramah lingkungan karena menggunakan sumber listrik dari panel surya, turbin air, dan tenaga hemat daya lainnya.
Untuk mewujudkan itu, rencananya perusahaan akan mencari potensi-potensi limbah di tiap daerah yang bisa diproduksi untuk jawab masalah lokal. Sebab, isu sampah plastik ini tidak terjadi di kota besar saja, tapi juga di pedesaan. Alternatif limbah yang saat ini sedang di dalami juga masih banyak. Disebutkan ada limbah kopi, gabah padi, jagung, dan batang sorgum sebagai alternatif pengganti plastik.
Tak hanya itu, perusahaan juga berencana untuk membuat kemasan ramah lingkungan untuk produk kosmetik. Salah satu yang akan terlaksana bersama dengan Paragon Technology and Innovation, induk kosmetik dari merek Wardah, Make Over, Kahf, dan Emina.
“Harapannya kami bukan hanya jadi startup yang dikenal sebagai produsen kemasan makanan ramah lingkungan. Kami ingin buka ruang kemungkinan menjadi ekosistem sirkular, yang meliputi aspek-aspek yang berkaitan dengan sustainability, pengelolaan kadar karbon, komoditas, logistik, manufaktur dan edukasi. Akhirnya akan jadi semacam pengelolaan waste agar yang kami lakukan holistik juga sirkular menyelesaikan isu 3P.”
Ia pun meyakini dengan dukungan pendanaan dari BRI Ventures, menjadi stimulus yang baik untuk meneruskan inisiasi yang baik tersebut. Ekosistem impact yang semakin ramai menandai bahwa tidak selamanya startup harus digital-based, tapi juga bisa solution-based yang lebih konvensional yang berbasis lingkungan, ESG, dan sebagainya, membuka ruang untuk dikembangkan lebih jauh.
“Masalah permodalan untuk R&D bisa di-handle karena kepercayaan orang terhadap isu lingkungan semakin tinggi. Investor mulai melirik potensi yang ditawarkan. Terlebih karena narasi target pengurangan karbon semakin pendek di tiap negara, jadi langkah bagus, pasarnya pun semakin aware,” tutup dia.
Saat ini tim Plepah didukung oleh empat orang tim inti, 20 orang lainnya untuk divisi rantai pasok dan 15 orang lainnya untuk pabrik di Cibinong.
Sign up for our
newsletter