Strategi Gramedia Digital Nusantara Gabungkan Kultur Startup dan Korporasi
Wawancara dengan Managing Director Gramedia Digital Nusantara Kelvin Wijaya
Setelah melebur menjadi Gramedia Digital Nusantara pada tahun 2016 lalu, layanan Scoop yang berangkat dari kultur perusahaan startup masih mencoba untuk menggabungkan dua kultur yang berbeda, yaitu perusahaan yang sudah mapan (Gramedia) dan startup.
Kepada DailySocial, Managing Director Gramedia Digital Nusantara Kelvin Wijaya mengungkapkan, proses penggabungan ini tidak selalu berjalan dengan mudah, sarat dengan bentrokan dari sisi kebiasaan, cara kerja hingga tim yang terlibat di dalamnya.
"Proses integrasi memang benar-benar lumayan sulit, karena kita datang dari startup dan berhadapan dengan perusahaan yang telah berdiri selama 48 tahun lebih hadir di Indonesia. Jadi memang terdapat culture clash, people clash, SOP dan cara kerja yang clash," kata Kelvin.
Sebagai pimpinan yang memiliki latar belakang startup, Kelvin berupaya untuk bisa melakukan integrasi tersebut dengan cara pembuktian hingga melakukan MVP (Minimum Viable Product). Dengan menerapkan proses tersebut, Kelvin dan tim mengklaim bisa memberikan hasil yang terbaik agar bisa melancarkan proses integrasi.
Fokus ke misi utama
Hadirnya Gramedia Digital Nusantara, menurut Kelvin, untuk membantu percepatan transformasi digital di Gramedia Group. Menyesuaikan fokus utama, keterlibatan antara pegawai yang berasal dari korporasi dan pegawai yang berasal dari startup bisa menjadi kolaborasi yang solid guna mempercepat pertumbuhan bisnis.
"Misi besar kita adalah untuk Gramedia. Jadi kita mempunyai tugas besar untuk melakukan transformasi digital untuk toko buku Gramedia. Perusahaan dibuat untuk mempercepat transformasi digital di grup," kata Kelvin.
Salah satu langkah yang telah diterapkan untuk bisa membawa kultur startup ke perusahaan adalah memisahkan kantor Gramedia Digital, menjalankan bisnis secara independen, dan melakukan konsolidasi dengan grup. Cara ini, menurut Kelvin, bisa membawa perusahaan ke arah yang tepat dengan menciptakan keseimbangan tersebut.
"Baiknya buat kami yang memiliki latar belakang dari startup adalah, kemampuan untuk bergerak dengan cepat, sementara perusahaan seperti Gramedia cenderung untuk lebih hati-hati dan kurang berani untuk mengambil langkah yang agresif. Di situlah peranan kami untuk bisa menggabungkan proses kerja tersebut," kata Kelvin.
Berikut wawancara lengkap dengan Kelvin Wijaya soal strategi dan tantangan Gramedia Digital mengonversi konsumen yang terbiasa mengonsumsi konten secara gratis menjadi konsumen berbayar.
Sign up for our
newsletter