Fajrin Rasyid: Telkom Pertimbangkan "Spin-off" Unit Bisnis Digital di 2023
Bincang eksklusif dengan Direktur Digital Business Telkom M. Fajrin Rasyid
Sosok M. Fajrin Rasyid telah lama dikenal sebagai Co-founder Bukalapak, salah satu marketplace terbesar dan perusahaan teknologi yang telah melantai di bursa saham Indonesia. Pada 2020, ia diangkat menjadi Direktur Digital Business Telkom untuk memperkuat posisi perusahaan sebagai digital-telco (digico).
Telkom Group telah mencetak jejak cukup panjang dalam melahirkan berbagai inisiatif digital, seperti Blanja.com (marketplace hasil kemitraan dengan eBay) dan LinkAja. Telkom juga memiliki kendaraan investasi MDI Ventures dan incubator Indigo agar dapat berkontribusi terhadap industri kreatif digital.
Dalam perbincangan dengan DailySocial.id, Fajrin bilang unit Digital Business yang dipimpinnya sejauh ini membawa pencapaian pesat. Bahkan, tak menutup kemungkinan unit bisnis digital di dalamnya akan dieskpos ke jaringan investor atau mitra strategis yang lebih luas.
Apa agenda transformasi yang Anda bawa ke Telkom?
Jawab: Semakin ke depan, industri telekomunikasi semakin mendapat tekanan, semakin commoditized, capex semakin tinggi. Sama seperti perusahaan telekomunikasi di dunia, mereka ingin go digital.
Ada banyak yang perlu dipelajari karena telekomunikasi sedikit berbeda meski beririsan dengan digital. Saya pelajari dan beri masukan, lalu saya usulkan untuk ubah atau improve apabila kurang bagus. Ini termasuk kapabilitas hingga kultur [organisasi].
Ada dua agenda Digital Business, yakni menciptakan model bisnis baru yang dapat memberikan pendapatan dan valuasi, termasuk pada bisnis existing. Agenda kedua, kami bantu di sisi internal. Contohnya, kami membuat aplikasi myIndiHome untuk dorong business process dan customer experience. IndiHome sendiri berada di Direktorat Consumer.
Apa saja yang perlu ditransformasi?
J: Ada dua sisi ekstrem di sini, yakni ekstrem rigid dan ekstrem agile. Startup sangat agile, sedangkan perusahaan BUMN atau publik sangat rigid dan birokratik. Bukan berarti keduanya punya sisi lebih baik dari yang lain.
Startup yang awalnya agile, pasti akan butuh good corporate governance. Di perusahaan saya sebelumnya, [laporan] tidak diaudit di tahun pertama dan kedua karena saat itu masih kecil. Namun, lama-lama investor meminta audit.
Sebaliknya, perusahaan telekomunikasi yang ingin go digital harus ke arah yang lebih agile. Saat hiring orang, startup biasanya lebih cepat. Di [Telkom] harus buat proposal dulu untuk justifikasi kebutuhan. Langkah ini sebetulnya masuk akal bagi perusahaan besar [untuk hindari risiko] seperti KKN.
Buat proposal bisa lama, begitu jadi, baru mulai hiring. Realitanya, mencari orang butuh waktu. Saya usul lakukan secara paralel. Jangan tunggu proposal jadi, kita bisa sambil cari orangnya. Ini salah satu aspek yang kami tingkatkan.
Lalu, saya memperkenalkan metode Objective Key Result (OKR) ke organisasi daripada memakai metrik pencapaian (achievement). Di e-commerce, OKR-nya berbasis Gross Merchandise Value (GMV), atau daily active user untuk video.
Ketika bikin aplikasi, lalu undang acara launching. Apakah bulan depan masih ada yang pakai aplikasinya? Kalau belum ada, berarti belum sesuai target. Bagi saya oke saja tidak buat acara [peluncuran] selama GMV naik terus.
Apa ada pertentangan dengan metrik yang Anda perkenalkan?
J: Pasti ada dinamika di dalamnya, banyak yang bertanya. Jika bicara digital, yang terpenting adalah customer. OKR itu merupakan terjemahan dari [kebutuhan] customer.
Saya memberi contoh ini ke diri sendiri. Saya jarang minta tim untuk mengembangkan fitur di aplikasi A, misalnya. Belum tentu fitur itu dibutuhkan customer atau sama dengan saya. Dengan mengacu pada data, kita tahu apa yang dibutuhkan. Ini saya coba tularkan ke organisasi, baik direktorat maupun grup.
Bagaimana struktur organisasi hingga pengembangan Digital Business ke depan?
J: Mengubah unit bisnis di Telkom butuh prosedur. Namun, kami kelola secara agile. Kami bentuk tribe yang dedicated membuat suatu produk. Chapter itu functional, semacam horizontalnya, terdapat manager, engineer, atau designer. Masing-masing punya tribe. Saat ini, ada 20 tribe, mulai dari logistik, agrikultur, health, dan education.
Pengembangan produknya dibagi dalam dua kategori, yakni internal dan eksternal. Di internal, tujuannya untuk dorong customer experience atau business process. Di eksternal, pengembangan produk bertujuan pada growth sehingga tribe bisa capai pendapatan dan valuasi. Ini menjadi justifikasi investasi yang telah dikelarkan. Perusahaan besar umumnya menghitung pendapatan per karyawan, EBITDA per karyawan.
Bagi tribe yang belum menghasilkan pendapatan karena masih di growth stage atau EBITDA masih negatif, kami ukur valuasi per karyawan. Jadi, kami tahu valuasi untuk tribe dengan 100 orang sekian atau tribe 50 orang sekian. Telkom punya Digital Investment Committee (DIC) untuk mengevaluasi kinerja dan metrik ini. Kalau tidak bagus, opsinya bisa tutup atau garap peluang baru. Jadi, tidak perlu ubah organisasi, geraknya lebih cepat.
Untuk mengukur keberhasilan bisnis digital, kami pakai metrik RBV atau revenue, benefit, dan valuation. Hasilnya bisa berupa pendapatan, efisiensi, atau peningkatan customer experience. Biasanya, produk startup-based belum ada pendapatan, tetapi baru GMV. Ini menghasilkan valuasi. Nah, untuk mencapai OKR, parameter ini tidak harus terpenuhi ketiganya.
Sejak tahun lalu, Digital Business mengalami pertumbuhan pesat. Kami telah mengembangkan Logee (logistik), Agree (Agrikultur), dan Pasar Digital (UMKM). GMV Logee dan PaDi sudah capai triliunan Rupiah per tahun, sedangkan Agree sudah ratusan miliar Rupiah per tahun. Agree kini tak hanya bermain di pertanian saja, tetapi juga ke perikanan.
Saya melihat ketiga sektor di atas punya potensi besar ke depannya. Secara umum, biaya logistik Indonesia masih tinggi, banyak ruang untuk digitalisasi. Industrinya juga sangat besar, mulai dari first mile,middle, dan last mile. Ada pandemi atau tidak, orang tetap butuh logistik. Sejumlah riset juga menyebut logistik sebagai sektor dengan pertumbuhan tercepat beberapa tahun terakhir.
Di agrikultur, setiap orang butuh makan, itu kebutuhan dasar meski ada pandemi atau resesi. Potensi UMKM juga masih besar. Untuk jump start, PaDi masuk ke segmen BUMN, tetapi kami perluas juga nanti untuk enterprise.
Bagaimana strategi eksekusinya?
J:Essentially, kami menerapkan strategi buy, build, and borrow. Kami bangun kapabilitas internal, misalnya melalui training. Namun, bangun kapabilitas itu butuh waktu, apalagi untuk level senior. Dalam hal ini, kami coba model borrow dan buy. Bisa lewat kerja sama atau membeli perusahaan yang punya keahlian. SDM juga dikombinasikan antara internal dan prohire.
Strategi ini untuk mengkomplemen kapabilitas sebagaimana yang saya jelaskan di awal. Bagaimana ke depannya? Ketiga cara tersebut akan terus kami lakukan untuk memastikan kapabilitas tercapai. Tentu ini tergantung pada justifikasi investasi, karena tidak bisa bakar uang terus kalau tidak menghasilkan.
Apakah ada rencana untuk spin off unit bisnis digital?
J: Sebagai bagian dari BUMN, membentuk anak usaha harus melalui justifikasi menyeluruh. Kami sedang menganalisis karena ada kemungkinan ke sana. Opsi ini makes sense karena spin-off dapat membuka kolaborasi dengan partner, baik melalui investasi maupun kerja sama mendalam.
Technically, saat ini sulit kalau ada yang mau berinvestasi [ke unit bisnis] karena berarti investasinya masuk ke Telkom dong. Jika di-spin off, investor bisa menjadi pemegang saham di perusahaan. Unit mana yang akan dilepas duluan? Tentu saja yang paling siap. Namun, jika lihat skala atau ukuran [bisnisnya], yang sudah triliunan itu Logee dan PaDi UMKM. Apalagi, PaDi sedang dipersiapkan untuk ekspansi ke luar segmen BUMN saja.
More Coverage:
Sebagai perusahaan digital-telco, kami tak hanya menawarkan produk digital saja, tetapi juga platform dan infrastruktur. Ini menjadi kelebihan kami jika bicara kebutuhan yang sifatnya terintegrasi. Satu hal yang kami lakukan di Digital Business dan Direktorat Strategic Portfolio adalah mengorkestrasi portofolio digital di Telkom Group untuk memastikan terciptanya kolaborasi.
Bagaimana rencana spin-off IndiHome ke Telkomsel?
J: IndiHome sebetulnya berada di Direktorat Consumer, tetapi the digital strategy will follow the business. Kami belum tahu rencana detail pengembangan dari sisi digital [setelah bergabung dengan Telkomsel].
Bisa saja namanya nanti bukan IndiHome lagi. Ini belum diputuskan, masih didiskusikan. Yang pasti, salah satu premisnya adalah kolaborasi produk IndiHome dan Telkomsel akan lebih baik dengan penggabungan ini.
Apa sektor lain yang ingin Anda eksplorasi selanjutnya?
J: Telkom banyak terekspos dengan tren di green economy. Personally, saya memang tertarik untuk mengeksplorasi. Ini sesuatu yang sedang kami pelajari. How can we play, apa yang dapat Telkom bantu untuk digitalisasi.
Kami mulai ngobrol dengan Gesists, anak usaha BUMN di bidang motor listrik. Mereka memproduksi motor listrik, tapi barangkali ada kebutuhan aplikasi untuk enhance layanannya. Kami sedang analisis posisi Telkom dengan melihat tren-tren besar ini. Kami tak mau masuk ke bisnis kalau tidak punya kapabilitas.
Who knows ke depannya Telkom akan menyasar bisnis lain yang adjacent atau berdampingan.
Sign up for our
newsletter