Melihat Bagaimana Pelaku Edtech Mencuri Perhatian di Masa Pandemi
Belajar dari Co-founder dan CEO Cakap Tomy Yunus di sesi #SelasaStartup
Platform edtech sudah hadir di Indonesia sejak beberapa tahun lalu. Namun, gaungnya mulai meroket secara signifikan di kalangan ekosistem pendidikan di tahun ini. Hal ini terjadi usai pemerintah merumahkan kegiatan belajar mengajar untuk menekan penyebaran Covid-19.
Apa kata salah satu pelaku edtech menanggapi popularitas layanannya di masa pandemi ini? Simak bincang-bincang menarik selengkapnya dari Co-founder & CEO Cakap Tomy Yunus di sesi #SelasaStartup berikut ini:
Perjuangan pelaku edtech terbayar di 2020
Tomy menilai bahwa industri pendidikan dan penunjangnya di Indonesia berkembang pesat selama beberapa tahun terakhir. Memang ketika ia memulai untuk terjun ke bisnis edtech, tak sedikit hambatan yang dialami. Salah satunya adalah ketersediaan infrastruktur internet.
Menurutnya, beberapa tahun lalu internet masih terbilang mahal. Penetrasi 4G masih rendah. Dapat dikatakan pasarnya belum siap bagi pelaku edtech untuk masuk. Namun ia meyakini bahwa kebutuhan pendidikan bakal terus meningkat dan pemerataan internet hanyalah masalah waktu saja.
Di sisi lain, menurut Tomy kualitas pendidikan masyarakat Indonesia masih jauh dibandingkan negara maju, seperti Tiongkok. Akan tetapi, ia melihat tren spending-nya meningkat. Dari sejumlah riset yang ia kutip, pasar pendidikan Indonesia naik 10 persen setiap tahun dan menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.
Faktor-faktor ini yang membuat Cakap dan pelaku edtech lainnya bertahan. Perkembangan penetrasi internet menjadi memungkinkan bagi masyarakat di luar Pulau Jawa untuk mengemban pendidikan tanpa perlu ke kota-kota besar. Artinya, iklimnya sudah jauh lebih positif dibandingkan dulu.
"Selama pandemi, para pelaku edtech diuntungkan. Tetapi, ini adalah buah perjuangan kami selama mengembangkan produk [edtech]. Itu semua terbayar di 2020 karena kami diberi kesempatan untuk berbuat lebih banyak. Pendidikan itu industri paling tricky dan tough karena investasinya jangka panjang, bisa sampai 5 tahun, demikian juga teknologi," jelas Tomy.
Willingness segmen milenial meningkat
Jika dibandingkan dengan Tiongkok, perbedaan paling mendasar pada kebutuhan pendidikan adalah consumer spending. Diakui Tomy, spending Indonesia terhadap pendidikan masih kalah jauh. Di Tiongkok. orang-orang bisa menyisihkan 20-30 persen untuk meningkatkan skill.
"Saya tidak setuju kalau orang Indonesia tidak suka belajar. Mungkin lebih kepada aspek affordability-nya yang belum seperti negara maju. Tetapi, kami melihat ada tren peningkatan, terutama di bidang specific skill yang ada kaitannya dengan pendapatan," ungkap Tomy.
Menurutnya, segmen milenial sudah mulai sadar pentingnya investasi pada skill untuk menunjang kariernya di masa depan. Artinya, spending tidak dihabiskan untuk produk consumer, seperti elektronik.
"Sebetulnya solusi untuk mengatasi affordability itu adalah dari produknya. Layanan kami kini tak cuma one-to-one, ada juga yang one-to-many. Di sini kami memberdayakan teknologi agar produk lebih scalable dan bisa affordable. Selebihnya, kami harap internet akan semakin merata karena bagaimanapun juga spending bukan cuma di paket, tetapi juga kuota internet," paparnya.
Komitmen pelaku edtech lokal memenangkan pasar
Menurut Tomy, pasar edtech di Indonesia masih terbilang early dan vertikalnya pun cukup berjauhan antara satu sama lain, seperti segmen siswa SD hingga perkuliahan atau khusus karyawan.
Karena pemainnya belum banyak, ungkapnya, pasarnya mulai banyak dilirik oleh pelaku edtech asing. Wajar mengingat Indonesia merupakan pasar terbesar di Asia Tenggara.
"Pasarnya belum crowded, tetapi ini dalam artian positif. Saya melihat teman-teman edtech lokal sangat berkomitmen. Makanya, saya meyakini bahwa pelaku edtech lokal yang bakal mengambil benefit paling besar. Kita paling mengerti pasar dan regulasi di Indonesia, bahkan bisa masuk ke segmen retail, corporate, dan governance. Kita lihat apakah [edtech asing] bisa memenangkan pasar Indonesia," tuturnya.
Pandemi membuka peluang baru
Tak hanya sekolah saja yang terdampak dari pandemi, tetapi juga lembaga kurus/pelatihan dan bimbingan belajar (bimbel). Ketika pemerintah memberlakukan PSBB, sebanyak 80 persen sekolah harus ditutup. Hal ini berdampak pada lembaga bimbel di luar sekolah karena harus tetap beroperasi.
Menurut Tomy, kegiatan seminar dan pelatihan bagi mahasiswa ataupun karyawan yang selama ini digelar secara offline pun juga mau tak mau harus dilakukan secara digital. Namun, ia menilai situasi di atas membuka peluang untuk mengembangkan layanan edtech baru. Terlebih, platform yang ia kembangkan saat ini masih fokus pada pembelajaran bahasa.
More Coverage:
"Karena kami melihat ada demand besar, kami memberanikan diri untuk catermarket tersebut. Tentu ada sedikit adjusment untuk main ke segmen non- language. Tapi ini peluang baru meski saat ini kami baru fokus di beberapa layanan, seperti marketing dan yang berkaitan dengan ICT," ucap Tomy.
Momentum emas test case platform edtech
Bagi Tomy, tahun 2020 memberikan kesempatan emas untuk membuktikan bahwa layanan edtech dapat menyelesaikan masalah sesungguhnya yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Menurutnya, pelaku edtech tidak melihat situasi ini sebagai tantangan, melainkan test case dari solusi yang dikembangkan.
Selain membuka peluang untuk masuk ke segmen baru, pandemi juga melahirkan berkolaborasi oleh stakeholder di berbagai ekosistem, tak hanya pendidikan. Pada kasus Cakap, pihaknya bahkan bekerja sama dengan industri pariwisata untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris.
"Kami dikasih battlefield untuk membuktikan produk kami. Di tahun-tahun sebelumnya, mungkin kesempatannya belum ada dan ini sebetulnya yang ditunggu-tunggu oleh pelaku edtech. Tentu ada peningkatan signifikan pada trafik dan pengguna, tapi kami selalu melihat room improvement mengingat pandemi masih akan berlangsung ke depan," ujarnya.
Sign up for our
newsletter