1. Startup

Meneropong Prospek "Securities Crowdfunding" Bagi Ekosistem Startup

Ada empat penyelenggara yang sedang mengajukan izin SCF

Langkah OJK memperluas alternatif pencarian dana buat UKM dari equity crowdfunding (ECF) menjadi securities crowdfunding (SCF) patut diapresiasi karena aturan sebelumnya punya banyak lubang yang belum mengakomodasi UKM yang mayoritas belum berbentuk Perseroan Terbatas.

Aturan sudah detil tertuang di POJK 57/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi, menggantikan POJK 37/2018 yang semula hanya mengatur layanan crowdfunding berbasis saham dan saham syariah.

Beleid yang memuat 13 bab dan 92 pasal ini tersebut secara rinci bagaimana perizinan, kegiatan usaha, kewajiban dan larangan, pelaporan, praktek pelaksanaan penawaran dan perdagangan efek, hingga sanksi.

Perluasan ini tak lantas menghapuskan kehadiran ECF. Ketua Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI) Reza Avesena, yang juga merupakan Co-Founder dan CEO Santara, menegaskan bahwa fungsi ECF masih tetap ada dan tetap menjadi alternatif yang bisa diminati oleh penerbit maupun pemodal.

“Dengan SCF, penyelenggara bisa menerbitkan efek tidak hanya berbasis equity, namun juga berbasis utang atau sukuk. Bisa dilihat dari Pasal 91,” terangnya kepada DailySocial.

Reza juga menerangkan penerbitan sukuk kini mengadopsi apa yang diterapkan oleh regulator pasar modal. Instrumen persyaratan yang digunakan BEI untuk penerbitan sukuk, seperti peranan DPS (Dewan Pengawas Syariah) atau ASPM (Ahli Syariah Pasar Modal) yang direkomendasikan oleh DSN MUI, peran bank kustodian syariah, dan peran KSEI sebagai kustodian.

Lebih jauh dalam layanan SCF ini memuat beberapa poin penting:

A. Jangka waktu penawaran : 12 bulan (1 kali atau beberapa kali penawaran) B. Efek yang ditawarkan : Efek bersifat ekuitas, efek bersifat utang, dan sukuk C. Nilai penawaran : Maks Rp10 miliar D. Masa penawaran (tiap penawaran ) : 45 hari E. Penawaran batal demi hukum : Jika minimum dana tidak terpenuhi, penawaran batal demi hukum. F. Efek bersifat ekuitas : Dilarang menggunakan lebih dari 1 penyelenggara G. EBUS (Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk) : Dilarang melakukan penghimpunan dana baru melalui LUD sebelum Penerbit memenuhi kewajibannya kepada pemodal (kecuali untuk penawaran EBUS secara bertahap) H. Pembatalan penawaran : Penerbit dapat membatalkan penawaran efek sebelum berakhirnya masa penawaran dengan membayar denda kepada penyelenggara

Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan kehadiran SCF merupakah langkah positif untuk pasar modal domestik karena dapat memperbesar jumlah penghimpunan dana dari pasar modal. Selain itu, SCF semakin memperdalam variasi instrumen yang ada di pasar modal sebab dinilai masih banyak instrumen pembiayaan yang belum tergali secara maksimal.

“Ini merupakan hal yang bagus, terutama untuk sektor usaha kecil menengah yang kerap terganjal masalah permodalan. Dampaknya juga tentu akan sejalan dengan upaya pemerintah memperdalam kepemilikan investor domestik,” terangnya seperti dikutip dari Bisnis.com.

VP Economist Bank Permata Josua Pardede berpendapat sama. Menurutnya kemunculan SCF akan berimbas positif bagi pasar modal seiring meningkatnya permintaan saham dari investor domestik. Hal tersebut terlihat dari semakin terbatasnya dampak keluar masuk investor asing dalam pergerakan saham.

“SCF akan meningkatkan pendalaman pasar saham serta mendorong pemberdayaan dan korporatisasi UKM,” ujarnya.

Sumber: Depositphotos.com

Cerita awal ECF menjadi SCF

Ketua Amvesindo Edward Chamdani menceritakan asal mula OJK menerbitkan POJK 37/2018 karena adanya keinginan regulator untuk menerbitkan ECF tapi belum mengerti untuk area apa saja. Setelah menerbitkan POJK, asosiasi memberikan masukan dari sisi modal ventura, misalnya mandatory convertible (obligasi wajib konversi) terhitung sebagai ekuitas. Sementara, di pasar modal masih dianggap pinjaman selama belum jatuh tempo.

Perbedaan konsep ini terjadi karena peraturan di pasar modal yang lebih kaku karena berkaitan dengan peraturan di Kemenkumham. Pun, setelah POJK 37 diterbitkan masih ada lubang yang akhirnya dilengkapi OJK melalui POJK 57. Dia melihat OJK memperhatikan masukan dari Amvesindo bahwa efek seperti obligasi atau unit penyertaan KIK dapat disekuritaskan.

“Daripada buat surat edaran, akhirnya OJK membuat POJK 57 yang isinya sudah embedded dengan POJK 37. Jadi instrumen-instrumen efek yang sifanya lebih open bisa di-crowdfunding-kan, enggak sebatas ekuitas saja,” tuturnya saat dihubungi DailySocial.

 

Sumber: Amvesindo

Dia melanjutkan, menariknya SCF dapat menjadi suatu gebrakan baru buat ekosistem startup karena bisa menjadi medium menarik buat angel investor, VC, atau accelerator yang ingin bekerja sama dengan penyelenggara SCF dan mendanai UKM.

Banyak kemungkinan yang kemungkinan bisa terjadi, misalnya membuat perusahaan patungan sendiri yang berfungsi untuk pool of fund dengan sifat lebih open untuk berinvestasi ke perusahaan yang masuk ke dalam platform SCF. Lalu dibina para pemain akselerator untuk naik kelas hingga bisa masuk ke papan akselerasi di BEI. Bisa juga angel investor atau VC yang langsung menyuntikkan dananya untuk para UKM tersebut.

Modal ventura yang tidak menganut growth mindset juga dapat ikut mendanai. Bisnis UKM yang masuk ke dalam platform SCF sudah dikurasi, tidak sembarangan, dan punya fundamental bisnis yang lebih kuat daripada kebanyakan startup teknologi yang berorientasi pada strategi "bakar duit".

Perusahaan modal ventura yang berorientasi growth mindset juga ikut masuk. Miskonsepsi mengenai VC hanya tertarik masuk ke startup teknologi juga dapat diredam karena mereka mulai melirik ke banyak sektor. Kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat terjadi karena ranah investor yang dijangkau jauh lebih luas.

Dari sisi regulasi, OJK jauh lebih ketat untuk pemain SCF ketimbang di p2p lending yang masih ditemukan investasi bodong karena kebanyakan pemain datang dari luar negeri dan tidak memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Di sini, OJK tidak memberlakukan ketentuan status terdaftar, penyelenggara harus berstatus berizin baru boleh beroperasi.

Persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapat izin juga tidak main-main, tidak sebatas paham dengan model bisnis saja, tapi harus ISO 27001 dan diaudit oleh komite yang menjadi salah satu member di BEI. “Karena ini jadi mini bursa untuk private investor jadi mau enggak mau harus strict dari awal.”

Upgrade ke SCF

OJK mencatat hingga akhir tahun kemarin, telah mengeluarkan empat izin penyelenggara kepada empat perusahaan. Mereka adalah Santara, Bizhare, Crowddana, dan LandX. Secara kumulatif, keempat perusahaan ini telah menghimpun dana sebesar Rp185 miliar.

Sementara itu, OJK mendata ada 16 calon penyelenggara yang masih dalam proses perizinan ECF dan tiga calon penyelenggara dalam proses perizinan SCF. Dua dari tiga penyelenggara yang dimaksud adalah Santara dan Bizhare. “Sudah tahap final, harapannya bisa release [izinnya] pada Februari ini,” sebut Reza.

Santara telah menyiapkan sejumlah rencana, misalnya untuk penerbitan sukuk sudah mengantongi rekomendasi terkait TAS (Tim Ahli Syariah) dari DSN MUI. Akan tetapi, jika izin sudah terbit pun perusahaan belum langsung menyeriusi SCF pada tahun ini karena memilih untuk fokus pada penerbitan ECF.

"Karena di ECF bisnis model tersebut sudah sangat matang di internal kami. Tapi bukan berarti kami tidak akan menerbitkan sukuk, namun lebih perlu untuk edukasi market, audience terlebih dahulu."

Kepada DailySocial, Founder dan CEO Bizhare Heinrich Vincent menuturkan, perusahaan memilih bertransformasi menjadi SCF, bukan pivot, dalam rangka  pengembangan model bisnis yang sudah ada sebelumnya.

“Tentunya ditujukan untuk lebih mempermudah bagi masyarakat, khususnya pelaku bisnis UKM, untuk memperoleh permodalan dengan pilihan skema yang lebih beragam. Untuk dapat mendukung perkembangan ekonomi Indonesia dan membuka lapangan pekerjaan lebih luas lagi.”

Sumber: Bizhare

Ia melanjutkan, bisnis UKM di Bizhare yang sudah mendapatkan pendanaan melalui skema ECF akan terus berjalan dan perusahaan sendiri melahirkan inovasi untuk kategori di produk layanan ini dengan merilis layanan Pasar Sekunder yang dirilis pada awal Februari 2021.

Layanan ini menjadi strategi untuk meningkatkan likuiditas dari saham penerbit yang diterbitkan, serta salah satu exit strategy untuk para investor. Dalam keterangan resmi pada hari ini (3/2), Heinrich menjelaskan manfaat Pasar Sekunder untuk penerbit UKM sendiri yakni untuk kembali membeli saham (buyback) saham mereka di Pasar Sekunder, apabila ada investor yang ingin menjual sahamnya.

Dengan cara ini, terwujud demokratisasi sistem jasa keuangan yang mature seperti pasar modal, yang mana awalnya hanya bisa diakses kalangan menengah atas saja, kini bisa diakses oleh para UKM di seluruh Indonesia. Para investor dapat melakukan transaksi permintaan (bid) dan penawaran (offer) saham dengan aman dan nyaman.

“Pasar Sekunder Bizhare dibuka untuk penerbit yang sudah berjalan 1 tahun, sudah terdaftar di KSEI, dan atau sesuai hasil keputusan RUPS Penerbit. Pasar Sekunder akan dibuka setiap 6 bulan sekali dengan masa pembukaan Pasar Sekunder selama 10 hari kerja” jelas Vincent.

Vincent optimis dengan SCF akan memudahkan UKM untuk memilih jenis pendanaan yang sesuai dengan preferensi mereka, baik saham, obligasi, atau sukuk. Dari segi persyaratan pun, penerbit efek ini tidak hanya untuk yang berbadan PT saja, tapi juga koperasi, CV, dan sebagainya.

“Kami juga akan terus menghadirkan penawaran saham untuk deretan bisnis UKM yang semakin menarik dan beragam. Saat ini, Bizhare tengah membuka pendanaan untuk berbagai bisnis yang bisa diinvestasikan mulai dari Rp50 ribu per lembar saham. Kami optimis akan banyak karya bisnis anak muda yang dapat berkembang pesat berkat layanan kami sebagai SCF sehingga geliat ekonomi Indonesia semakin luar biasa.”

Bizhare menargetkan pada tahun ini dapat menargetkan lebih dari 200-300 UKM dapat membuka pendanaan melalui Bizhare. Dari sisi investor dan total nilai investasi diharapkan tumbuh antara 5-10 kali lipat. Target tersebut akan dicapai dengan inovasi perusahaan tidak hanya melalui perluasan layanan ke SCF, juga rencana penambahan jenis bisnis lainnya selain UKM dan franchise, seperti pendanaan untuk startup teknologi.

“Dari sisi produk, kami akan segera meluncurkan fitur baru yaitu business profile, supaya calon penerbit dapat semakin mudah dalam mengajukan pendanaan dan listing profile-nya di Bizhare. Selain itu, meluncurkan aplikasi untuk Android dan iOS yang ditargetkan rilis tahun ini.”

Vincent melanjutkan, “Ada berbagai kerja sama strategis dengan berbagai pihak yang akan diumumkan dalam waktu dekat. Dalam hal pendanaan, kami rencananya akan membuka diskusi dengan berbagai investor dan VC untuk bergabung pada pendanaan Seri A di akhir 2021 ini.”

Butuh edukasi masif

Potensi pasar SCF bisa diukur dari jumlah UMKM yang diperkirakan mencapai 60 juta. Demi mengejar potensi tersebut, ALUDI punya banyak pekerjaan rumah. Optimisme industri perlu dibarengi dengan edukasi masif dari seluruh stakeholder agar ekosistem jauh lebih sehat karena peluang ke depannya akan jauh lebih luas.

Reza menuturkan dari sisi pebisnis UKM perlu ditingkatkan tentang literasi keuangan, integritas, legalitas, serta pemahaman tentang pasar modal. Sementara dari sisi pemodal, literasi tentang pemahaman risiko investasi juga perlu ditingkatkan. Mengingat, tiap instrumen investasi punya tingkat risiko dan tingkat pemahaman yang berbeda.

Hal lain yang perlu ditingkatkan adalah menjaga kepercayaan publik dan menjembatani minimnya talenta di industri keuangan. Edward turut menekankan dalam hal edukasi kepada investor agar tidak salah kaprah karena instrumen investasi ini masih baru, seperti saham tapi tidak selikuid saham dan perusahaan penerbitnya tergolong muda.

“Tapi ini menarik karena memberikan kontribusi kepada UKM, mereka punya jalur penggalangan dana yang di mana perbankan atau institusi keuangan lainnya yang tidak bisa dimasuki. Celah tersebut yang bisa dimanfaatkan.”

Dia berharap bila instrumen ini semakin diminati UKM, maka ongkos untuk pencatatan efek di KSEI dapat lebih murah. Terlebih, KSEI saat ini sedang menggalakkan pencatatan efek tanpa skrip (scriptless) dengan pembaruan sistem yang masih dilakukan.

“Potensi KSEI bisa dengan pola scriptless untuk private company menjadi breakthrough, tapi isu cost ini bisa membebani platform, ini yang perlu diperhatikan.”

Dari sisi pelaku sendiri, Vincent menuturkan perusahaan setiap minggunya meracik berbagai program untuk memberikan informasi mengenai SCF secara daring untuk investor. “Kami juga aktif bekerja sama dengan komunitas penjual, mulai dari komunitas pelaku bisnis UMKM, seller marketplace, dan banyak lainnya untuk mengedukasi pelaku bisnis dalam hal strategi mengembangkan bisnis mereka melalui pendanaan Bizhare,” tutupnya.

- Foto header: Depositphotos.com

Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again

Sign up for our
newsletter

Subscribe Newsletter
Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again